Oleh: Ema Husain
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pengalaman Pilkada sebelum dilaksanakan secara serentak nasional, pada saat ada perselisihan hasil di Mahkamah Konstitusi (MK) hampir semua permohonan yang diajukan dan tidak memenuhi ambang batas prosentase selisih suara tidak diterima. Kecuali bagi permohonan yang memenuhi unsur yang Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM).
Sekalipun peraturan mahkamah Konstitusi (PMK) mengatur secara jelas soal ambang batas yang dapat menjadi point eksepsi, namun mahkamah dapat mengindahkannya. Alasan MK adalah jangan sampai keadilan substansi terabaikan.
Sebab MK telah memeriksa dan memutus sengketa hasil yang tidak hanya soal kesalahan KPU dalam menghitung. Namun yang lebih penting adalah terungkapnya kesalahan KPU dengan meloloskan Paslon yang ternyata melakukan kesalahan. Seperti syarat pencalonannya bermasalah.
Dengan kata lain MK dalam memeriksa permohonan dan meloloskan permohonan pada pemeriksaan pokok perkara sekalipun hal tersebut tidak sesuai amanah pasal 158 UU Pilkada, maka dapat dipastikan jika hal tersebut sifatnya kasuistis. Hal tersebut yang menyebabkan pada Pilkada serentak nasional pada tahun 2024 jumlah perkara di MK bukannya berkurang tapi lebih dari setengah Pilkada yang mengajukan keberatan.
Maka kesiapan para pihak yang berperkara menjadi hal yang menentukan. Pemohon dalam hal ini harus mampu membuktikan dalil dan dalih yang disoal, KPU selaku Termohon mesti menjelaskan semua hal terkait tuduhan pelanggaran yang mengakibatkan suara Pemohon menjadi tidak signifikan.
Demikian halnya dengan peroleh suara terbanyak, dalam hal ini adalah Pihak Terkait. Haris mampu membantah semua tuduhan dari Pemohon.
Strategi dalam merekonstruksi permohonan juga sangat penting, yaitu mengetahui siapa panel hakim yang akan memeriksa dan menangani perkara para pihak. Mengingat hakim MK Sebagian besar adalah ahli dalam bidang Hukum Tata Negara. Dengan model dan style yang berbeda diantara majelis hakim dalam memeriksa perkara.
Ada hakim yang menginginkan permohonan harus jelas mengurai secara runtun terjadinya proses pelanggaran yang berakibat pada Pemohon berpotensi kehilangan suara. Namun disisi lain ada pula panel hakim yang hanya mendengarkan penjelasan yang singkat namun jelas.
Namun syarat utama menurut Penulis adalah bukti yang akurat, yang dapat mendukung semua dalil yang dikemukakan, baik itu dari Pemohon, Termohon maupun Pihak Terkait. Putusan MK pada Perselisihan hasil tahun 2020 yang lalu, maksimal saksi yang diperiksa MK berkisar Dua sampai Tiga saksi yang kualitasnya dapat menjelaskan dalil yang dikemukakan para pihak. Jadi kuantitas tidak lagi menjadi prasyarat utama.
Semoga sengketa hasil kali ini, mahkamah dapat memberikan putusan yang murni berdasarkan pada fakta hukum, hingga semua pihak mampu menerima segala hal yang diputuskan mahkamah. Dan kepada semua pihak yang berperkara selamat berjuang. (*)