Oleh: Babra Kamal
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Di tengah menghangatnya isu pemagaran laut di Teluk Jakarta, tepatnya, di Kabupaten Tangerang, Banten, yang tranding di media sosial X, saya iseng mengetik pertanyaan pada aplikasi chat GPT.
"Mengapa laut dipagar?"
Chat GPT pun memberi tiga poin jawaban khas mesin akal imitasi ini. Pertama, mencegah abrasi, selanjutnya mencegah intrusi air laut, dan yang terakhir mendukung reklamasi.
Sebagai orang yang pernah meneliti reklamasi yang terjadi di Kota Makassar, saya meyakini jawaban terakhir yang diberikan aplikasi berwarna putih itu yang paling tepat. Tak pelak lagi itu adalah upaya reklamasi kawasan tersebut.
Penjelasan lengkap chat GPT bilang begini: struktur pagar laut digunakan sebagai penanda wilayah yang akan direklamasi atau ditimbun. Mempersiapkan area tersebut untuk pembangunan kota masa depan.
Reklamasi Pesisir
Kota-kota besar di Indonesia rata-rata memang merupakan daerah yang berada di tepian pantai (waterfront city). Karena, dahulu merupakan kota pelabuhan kolonial, menjadikan kawasan ini sangat vital bagi pertumbuhan dan pergerakan ekonomi dan politik.
Konsekuensi yang muncul adalah timbulnya masalah penyediaan lahan bagi aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Agar mendapatkan lahan, maka kota-kota besar mulai melirik daerah yang selama ini terlupakan, yakni kawasan pesisir (coastal zone).
Reklamasi akhirnya menjadi pilihan pemerintah daerah dalam memperluas ruang. Fenomena ini merebak di berbagai kota besar di Indonesia, seperti reklamasi Teluk Jakarta, reklamasi Teluk Palu, reklamasi Pantai Marina Semarang, reklamasi Teluk Balikpapan, reklamasi Pantai Kenjer Surabaya, reklamasi Teluk Benoa Bali, reklamasi Pantai Sario Manado, dan reklamasi Pantai Losari Makassar.
Dalam perkembangannya beberapa proyek reklamasi ternyata banyak yang bermasalah hingga mendapat perlawanan di berbagai kota. Sebut saja pemagaran laut yang saat ini terjadi di Teluk Jakarta.
Tidak hanya di Jakarta, di berbagai daerah terjadi juga hal yang sama. Misalnya reklamasi di Teluk Benoa Bali yang mendapat penolakan yang masif dari aliansi yang tergabung dalam apa yang mereka sebut Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (FOR BALI).
Kejadian serupa juga terjadi di Kota Palu atas rencana pemerintah mereklamasi Teluk Palu, juga mendapat tantangan dari beberapa kelompok LSM yang kemudian membentuk suatu koalisi yang kemudian dinamakan Koalisi Penyelamatan Teluk Palu.
Reklamasi Pantai Losari di Kota Makassar juga tidak lepas dari sorotan dan mendapat perlawanan yang sama dari masyarakat. Setidaknya ada dua kelompok masyarakat (civil society) yang menolak reklamasi pesisir Kota Makassar yakni Koalisi Masyarakat Antikorupsi (KMAK) dan Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP). Keduanya menolak reklamasi Pantai Losari dan secara khusus menyoroti pembangunan kawasan Center Poin of Indonesia (CPI).
Regulasi
Reklamasi sebenarnya bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan. Pihak pengembang harus mematuhi berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah sebelum melaksanakan kegiatannya itu.
Beberapa aturan yang mengatur tentang reklamasi pantai terdapat dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang merupakan pedoman atau petunjuk bagi daerah untuk mengatur, mengendalikan dan menata wilayahnya dalam satu kesatuan ekosistem.
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2013 tentang Izin Lingkungan, Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan pemerintah No. 47 Tahun 1997 tentang rencana tata ruang nasional, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 40/PRT/M/2007 mengenai Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai.
Reklamasi juga harus mengacu kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pengerukan dan Reklamasi, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 mengatur pembatasan kegiatan manusia termasuk industri yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan mutu laut.
Kepentingan Pengembang
Dalam pengamatan kami, persoalan yang mengemuka dalam berbagai kasus reklamasi adalah keterlibatan pihak pengembang (pengusaha) dalam berbagai reklamasi yang ada di Indonesia. Pertanyaannya adalah mengapa para pengembang mengincar kawasan pesisir?
Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan pihak swasta menginginkan reklamasi di daerah pesisir. Pertama keuntungan lokasi, dalam hal ini harga tanah yang murah berbanding terbalik dengan harga jual perumahan yang tinggi.
Kita sama mengetahui bagaimana membumbung tingginya harga penjualan perumahan di lahan reklamasi karena lokasinya yang sangat strategis.
Kedua, kemudahan regulasi. Kemudahan regulasi yang saya maksud adalah investor berusaha mendekati pihak pemerintah yang berkepentingan baik itu pemerintah tingkat pusat (Kementerian ATR/BPN dan KKP sampai pemerintah daerah untuk memuluskan jalan mereka dalam mereklamasi pesisir.
Beberapa kasus reklamasi bahkan “nebeng” dengan proyek pemerintah seperti Proyek Strategis Nasional (PSN), di sejumlah daerah proyek reklamasi bahkan menggunakan dana APBD.
Kasus pagar laut yang terjadi saat ini di Jakarta sebenarnya adalah puncak gunung es dari berbagai proyek reklamasi yang sedang dan akan berjalan di berbagai tempat di republik ini yang berkonsekuesi menghilangkan kawasan konservasi, merusak terumbu karang, abrasi, mengancam ekosistem dan mendegradasi sumber mata pencaharian nelayan. (*)