Oleh: Ir. H. Satriya Madjid, ST., MSP.
Dewan Penasihat Ikatan Ahli Perencanaan (IAP)
Wilayah dan Kota Provinsi Sulawesi Selatan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pemasangan pagar patok bambu di wilayah laut pesisir Kabupaten Tangerang menjadi sorotan publik karena implikasinya terhadap ruang laut yang seharusnya dikelola untuk kepentingan umum.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai legalitas dan etika pemanfaatan kawasan laut pesisir Kota Tangerang, terutama karena beberapa lahan di wilayah tersebut telah memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB).
Di satu sisi, HGB memberikan hak kepada pemegangnya untuk memanfaatkan lahan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, tetapi di sisi lain, terdapat prinsip dasar bahwa kawasan laut adalah ruang yang memiliki fungsi ekologis dan sosial yang harus dilindungi.
Pemasangan pagar patok bambu sering kali digunakan untuk menandai klaim kepemilikan atau penguasaan atas suatu lahan. Dalam konteks kawasan laut pesisir Kota Tangerang, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Undang-undang tersebut mengatur bahwa kawasan pesisir, terutama zona sempadan pantai, adalah kawasan yang tidak boleh dialihfungsikan tanpa izin yang sah dan tidak boleh menghalangi akses masyarakat ke laut.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tangerang, kawasan laut pesisir Kota Tangerang memiliki peran penting dalam mendukung fungsi ekologis dan sebagai ruang publik. Kawasan ini diatur untuk tidak dialihfungsikan menjadi ruang privat atau komersial tanpa izin yang sesuai.
Dalam konteks pemasangan pagar patok bambu dan penerbitan HGB di atas wilayah laut, hal ini menimbulkan potensi pelanggaran terhadap peraturan tata ruang yang berlaku.