Oleh: Abdul Salam Taba
Pensiunan dan Advokat
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Keterbatasan lahan pemukiman dan mahalnya rumah tapak di daerah perkotaan membuat banyak orang tergiur membeli apartemen. Selain tidak jauh dari tempat kerja dan sekolah anak, lokasinya pun dekat dengan pusat bisnis dan perbelanjaan.
Saking tergiurnya, konsumen lebih tertarik mengudak soal keberadaan apartemen dan fasilitas yang ditawarkan oleh pengembang (developer). Sementara status hak kepemilikan, baik tanah maupun unit apartemen yang dibeli, kurang diperhatikan.
Kejelasan status diperlukan karena hak kepemilikan apartemen berbeda dengan membeli rumah tapak, di mana hak milik atas rumah dapat diperoleh secara otomatis. Selain itu, banyak developer yang tidak mematuhi ketentuan pembangunan apartemen yang ditetapkan dalam peraturan perundangan.
Secara terminologi, istilah apartemen tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia. Yang dikenal adalah rumah susun, sebagaimana disebutkan di Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Namun secara hukum positif, kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang sama.
Per definisi, rumah susun adalah gedung bertingkat dalam satu lingkungan yang dibangun secara horizontal atau vertikal dan terbagi dalam satuan (unit) yang dapat dimiliki dan dihuni secara terpisah, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Untuk dapat ditetapkan sebagai pemilik apartemen, harus dibuktikan dengan sertifikat hak milik (SHM) satuan rumah susun (sarusun) dan/atau sertifikat kepemilikan bangunan gedung (SKBG) sarusun, sebagaimana diatur di Pasal 47 dan Pasal 48 jo. Pasal 1 angka 11 UU Nomor 20 Tahun 2011.
Selain itu, pembeli sebelumnya telah melunasi dan menguasai objek jual beli (apartemen) yang dilakukan dengan itikad baik dan berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB). Dalam arti, PPJB adalah dokumen berisi perjanjian perikatan antara pembeli dan developer seperti tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4 Tahun 2016.
Namun, PPJB yang dibuat di hadapan notaris ini baru bersifat kesepakatan dan belum ada peralihan hak dari pengembang ke pembeli. Peralihan hak baru terjadi jika sudah dilakukan perubahan PPJB ke SHM sarusun atau SKBG sarusun melalui penandatanganan Akta Jual Beli (AJB) dan Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (SHMSRS).
Jangka waktu kepemilikan apartemen bergantung pada jenis sertifikat tanah bangunannya, yakni apakah bersertifikat hak guna bangunan (HGB) hak milik, atau HGB/hak pakai di atas tanah negara dan HGB/hak pakai di atas tanah hak pengelolaan. HGB hak milik, misalnya, berdurasi 30 tahun tapi dapat diperpanjang 20 tahun dan diperbaharui 30 tahun lagi sehingga totalnya 80 tahun. Sedang hak pakai lamanya bisa mencapai 70 tahun, yakni diawal berdurasi 25 tahun lalu dapat ditambah 20 tahun dan berikutnya 25 tahun, tapi dengan persyaratan tertentu.
Timbulnya Sengketa
Perselisihan dengan pengembang pada umumnya terjadi karena konsumen merasa tertipu dan dibohongi oleh pengembang. Karena pada saat dipasarkan hingga proses pembelian dilakukan, informasi perihal status tanah bangunan apartemen dan jangka waktu kepemilikan tidak disampaikan secara gamblang.
Selain itu, sebelum gedungnya terbangun, apartemen sudah gencar dipasarkan, baik secara face to face, penyebaran brosur, leaflet atau flyer, maupun potongan harga, serta beragam bonus dan hadiah menarik lainnya.
Akibatnya, banyak konsumen yang terjerat membeli dan pada akhirnya dirugikan karena ternyata apartemen batal dibangun dan uangnya tidak kembali.
Fenomena tersebut terungkap dari penelitian yang dilakukan oleh Dyah Kartika M. dkk melalui metode wawancara dengan tim pemasaran (Jurisdictie, Vol.1 No.2; 2019). Hasilnya, tim pemasaran dari empat apartemen yakni Transpark Cibubur, LRT City Ciracas Urban Signature, Apartemen Riverview Residence, dan Apartemen Pesona Square hanya menyampaikan keunggulan dan fasilitas yang ditawarkan.
Sementara status hak atas tanah bangunan dan berapa lama hak kepemilikan unit apartemen tidak disampaikan ke konsumen. Pun, tahapan pembangunan fasilitas apartemen dan rencana pengerjaannya tidak diberitahu. Bahkan, berbagai fasilitas yang dijanjikan sebelumnya tidak diwujudkan atau terlambat dipenuhi oleh pengembang.
Perilaku developer tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur perihal kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, seperti dinyatakan dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pengingkaran terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi pidana dengan ancaman penjara paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling banyak dua milyar rupiah, sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1999.
Pelanggaran Hak Konsumen
Pelanggaran hak konsumen sudah menggejala dan banyak dipraktekkan oleh pengembang. Mulai dari pengelolaan apartemen yang tidak sesuai aturan dan yang diperjanjikan, hingga sertifikat yang tak kunjung diperoleh meskipun sudah dibayar lunas. Terbukti dari peningkatan jumlah laporan konsumen soal apartemen ke Badan Perlindungan Konsumen (BPKN) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dari tahun ke tahun.
Ambil contoh, pada 2013 YLKI menerima 112 pengaduan masalah hunian, di mana 23% soal apartemen dan 76 persen rumah tapak. Setahun kemudian, pengaduan soal apartemen naik jadi 42 persen (67 laporan), sedang rumah tapak turun jadi 58 persen (90 laporan). Pada Januari-Maret 2015 keluhan perihal apartemen makin dominan, yakni 24 laporan soal apartemen dan 23 laporan rumah tapak.
Bahkan dalam 10 tahun terakhir, ada 750 pengaduan penghuni ke Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (APERSSI) di Bali, Surabaya, Semarang, dan berbagai kota besar lainnya. Keluhan yang diadukan umumnya berkisar soal PPJB, sertifikat HGB, P3SRS, listrik, air, dan tagihan iuran pengelolaan lingkungan (https://tirto.id; 24/4/2018).
Perselisihan konsumen dengan developer dominan dipicu oleh soal pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS). Hal ini diungkap Pejabat Pelaksana Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman (DPRKP) DKI Jakarta, Afan Adriansyah Idris, yang menyatakan ada sekitar 85 persen surat aduan ke DPRKP isinya terkait pembentukan P3SRS (https://gbn.top.index.php/ragam/transparansi-inti-pengelolaan-hunian-apartemen; 5/1/2024).
Timbulnya perselisihan tersebut ditengarai akibat regulasi pembentukan P3SRS yang berat sebelah. Sebab, dalam ketentuan Pasal 74 UU Nomor 20 Tahun 2011 dinyatakan P3SRS wajib dibentuk oleh pemilik satuan rumah susun (sarusun), dan di Pasal 75 ditetapkan pengembang wajib memfasilitasi pembentukan itu.
Ironisnya, pemilik yang lalai membentuk P3SRS dikenakan sanksi administratif yang antara lain berupa pencabutan SHM sarusun atau SKBG sarusun hingga pembongkaran rumah susun (apartemen), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 108 UU Nomor 20 Tahun 2011. Sementara dalam Pasal 107 UU yang sama dinyatakan pengembang yang tidak memfasilitasi pembentukan P3SRS tidak dikenakan sanksi.
Ketiadaan sanksi tersebut disinyalir menjadi pemicu bagi pengembang menunda pembentukan P3SRS oleh pemilik dan penghuni apartemen. Sebut saja yang dialami warga apartemen Menteng Square (Mentes) yang berlokasi di Kelurahan Senen, Jakarta Pusat, di mana penulis merupakan salah satu pemilik unit.
Seharusnya P3SRS Mentes sudah ada sejak 14 tahun lalu, tapi hingga sekarang belum terbentuk karena PT Bahama Development (BD) selaku developer terus berupaya menghambat baik secara halus maupun frontal. Misalnya, membentuk badan pengelola yang bersifat permanen sejak badan pengelola sementara berakhir di 2013, membenturkan pemilik dan penghuni hingga menyusupkan “orang-orangnya” ke dalam komunitas Mentes yang menuntut pembentukan P3SRS.
Keberadaan P3SRS bersifat krusial dan harus dibentuk segera oleh warga apartemen karena berfungsi mengurus kepentingan para pemilik dan penghuni. Contohnya, upaya perpanjangan HGB tanah apartemen dan prakarsa peningkatan kualitas (constructability) apartemen yang diatur di Pasal 65 UU Nomor 20 Tahun 2011. Selain itu, bertugas mengelola bagian, benda, serta tanah yang menjadi milik bersama dari apartemen.
Namun kenyataannya, pembentukan P3SRS kebanyakan ditangguhkan oleh pengembang. Kalau pun dibentuk, namanya bukan P3SRS, tetapi badan pengelola seperti yang terjadi di Mentes, dengan pengurus dan pengawas ditetapkan oleh developer. Akibatnya, dana pengelolaan dan penetapan besaran tagihan air, tagihan listrik, iuran pemeliharaan lingkungan (IPL), dan biaya pemeliharaan fasilitas yang rusak hingga perpanjangan izin gedung (singking fund) tidak transparan dan tidak auditable.
Perilaku developer tersebut menabrak aturan pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 2011, yakni Pasal 82 (6) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun yang menyebutkan dana pungutan untuk pengelolaan rumah susun wajib dikelola secara transparan dan dilaporkan ke pemilik dan penghuni. Pun, ketentuan itu diatur lebih detil di Pasal 10 dan Pasal 12 Peraturan Gubernur Nomor 132 Tahun 2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik.
Upaya dan Alternatif Pencegahan
Melihat kecenderungan pelanggaran hak konsumen yang dilakukan oleh developer, konsumen harus berhati-hati dan memahami aturan serta proses pembelian apartemen. Setidaknya ada 3 tahap yang perlu diperhatikan, yakni tahap pra transaksi, di mana semua proses perizinan telah dilakukan developer sesuai aturan yang berlaku.
Selanjutnya fase transaksi, di mana konsumen membayar sesuai kesepakatan dan penyerahan unit apartemen oleh pengembang. Tahap terakhir adalah pasca transaksi yang seringkali menimbulkan perselisihan karena developer tidak memenuhi prestasi yang telah dijanjikan dan disepakati di tahap transaksi.
Di fase pra transaksi, konsumen harus cari tahu siapa developernya dan status kepemilikan lahannya, jangan sampai apartemen dibangun di lahan milik orang lain. Berikutnya, harus datang ke lokasi dan mengecek semua perizinan seperti izin mendirikan bangunan (IMB) dan izin lokasi, agar konsumen tidak terjebak permasalahan pasca pembelian unit apartemen.
Selanjutnya, di fase transaksi, konsumen wajib tahu soal perikatan jual beli dan meneliti kembali keabsahan dan apa semua dokumen beres sebelum unit dibayar. Penelitian ini penting dilakukan untuk meyakinkan sertifikat induk sudah dimiliki dan tanah bangunan tidak dijaminkan atas utang developer.
Sepanjang sudah tidak menjadi jaminan, tidak ada masalah jika tanah dan bangunan apartemen yang akan dibeli dijaminkan ke bank oleh pengembang. Namun kalau masih menjadi jaminan atas utang developer, bank bisa menyita unit yang sudah dibayar konsumen bila pengembang tidak mampu membayar utangnya.
Karena itu, bagi konsumen, khususnya yang bayar via kredit bank, harus bertanya lebih dahulu dan pastikan ke pihak bank yang direkomendasikan oleh developer, tanah beserta apartemen yang akan dibeli langsung bisa diroya. Alias debitur dinyatakan oleh kreditur (bank) sudah memenuhi seluruh kewajiban pembayaran cicilan dan telah terbebas dari segala tanggungan hutang.
Tahap terakhir adalah pasca transaksi yang juga penting diantisipasi oleh warga dengan cara segera membentuk peguyuban. Peguyuban ini sebagai wadah penyampaian aspirasi dan tuntutan pemilik ke developer maupun pihak terkait lainnya. Misalnya, tuntutan pembentukan P3SRS dan ketiadaan transparansi pengelolaan dana IPL maupun singking fund, sebagaimana dipaparkan sebelumnya.
Jika pihak developer lalai atau tidak melaksanakan kewajibannya, peguyuban segera menyampaikan ke pengembang untuk segera diwujudkan. Somasi bisa dilakukan bila mana tidak ada penyelesaian, dan jika masih gagal peguyuban atas nama pemilik dan penghuni dapat menempuh penyelesaian sengketa melalui upaya litigasi atau non litigasi.
Penyelesaian non litigasi dapat ditempuh dengan cara menyampaikan laporan pengaduan ke lembaga perlindungan konsumen, yakni ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) seperti YLKI, atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Selain ke 3 lembaga tersebut, sengketa non litigasi bisa juga dilakukan melalui jalur arbitrase, mediasi, konsultasi, negosiasi, konsiliasi, dan penilaian ahli atau pendapat ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai bidang keahliannya. Pun, bisa dilaporkan ke Ombudsman RI (ORI) jika dalam penyelesaian sengketa terdapat maladministrasi yang dilakukan lembaga pemerintah dan non pemerintah (swasta), termasuk perusahaan dan perorangan yang menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Bila perselisihan tidak berhasil diatasi dengan cara non litigasi, penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga peradilan umum (litigasi). Cara ini bisa menghasilkan penyelesaian masalah yang berkekuatan hukum dan mengikat para pihak yang bersengketa. Dengan kata lain, suka tidak suka pihak penggugat dan tergugat harus menerima keputusan hakim yang mengadili dan memutuskan perkara tersebut.
Kemampuan konsumen memahami dan “menyiasati” ketiga fase tersebut, selain dapat terhindar dari perselisihan dengan developer maupun pihak lain yang terkait, juga membuat konsumen mampu mengantisipasi setiap permasalahan yang mungkin akan timbul beserta alternatif solusinya jika terjadi perselisihan. (*)