Nenek (Buaya)?

  • Bagikan
Siswan

Oleh: Siswan
Direktur Eksekutif Perkumpulan KATALIS

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Beberapa hari terakhir dalam berbagai kanal media sosial ramai tentang buaya yang oleh beberapa warga menganggapnya nenek. Klaim warga tersebut dengan sangat meyakinkan bersikukuh bahwa mereka menjadi nenek dalam artian pertalian darah.

Hal ini membuat terjadi kontroversial oleh dunia netizen khususnya yang berdominsiili di Makassar dan Sulawesi secara umum. Kontroversi tentu menjadi sesuatu yang wajar. Memperhadapkan keyakinan seseorang dengan pengetahuan dan keyakinan orang di kubu yang lain.

Situasi tersebut membuat penulis tertarik memberikan pandangan. Pertama, memahami term “nenek”. Term “nenek” memiliki makna dua hal yakni makna hakiki (secara luas) dan makna material (sempit).

Dalam makna secara luas, term nenek dapat mewakili hubungan kasih sayang antarindividu. Lazimnya nenek dengan cucu. Nenek senantiasa memberikan kasih sayang dan perlindungan terhadap cucunya demikian pula sang cucu akan memberikan kasih sayang kepada neneknya.

Dalam masyarakat seringkali terbangun relasi tersebut meskipun tak ada pertalian darah. Orang-orang yang dianggap telah berumur dan menyayangi anak-anak yang jauh lebih muda dibanding usianya dalam interaksinya sering menggunakan kata “nenek” meskipun kenyataannya tidak ada hubungan keluarga berbasis pertalian darah.

Adapun makna nenek secara sempit mengarah kepada hubungan pertalian darah antara nenek dan cucu dengan perantara bapak dan ibu. Hubungan ini bersifat konsekuensi logis karena anaknya anak menjadi cucu. Dan, pada kenyataannya nenek selalu menyayangi cucunya.

Bahkan dalam beberapa kasus, seseorang nenek terkadang lebih mencurahkan kasih sayangnya jauh lebih besar kepada cucunya dibandingkan pada anaknya sendiri. Tak jarang, seorang nenek menjadi tempat perlindungan cucu jika dimarahi orang tuanya.

Dengan memahami term tersebut, maka mudah memahami relasi antara manusia dengan buaya pada sebuah ruang hidup dan waktu yang bersama sebagaimana yang viral pada beberapa waktu terakhir ini.

Mungkinkah manusia memiliki pertalian darah dengan buaya? Dalam tinjauan sains dapat dipastikan akan mustahil terjadi karena perbedaan dari aspek kromosom. Kromosom adalah sebuah molekul DNA panjang yang mengandung sebagian atau seluruh materi genetik suatu organisme.

Dalam konteks kesaksian dalam persalinan, selama ini juga belum ada tenaga medis atau pun dukun beranak yang memberikan kesaksian bahwa ada bayi lahir dengan kembaran buaya.

Dengan demikian, relasi nenek antara manusia dengan buaya tidak menyangkut makna materil atau jasmani. Secara empirik, relasi manusia yang mendiami sekitaran sungai dengan buaya yang hidup di sungai dan muara disebut nenek.

Hal ini penulis jumpai di beberapa tempat di Sulawesi seperti di Kabupaten Bulukumba, Mamuju, Bone dan lainnya. Bahkan pada makhluk selain buaya pun disematkan relasi nenek seperti binatang-binatang besar yang ditakuti termasuk makhluk tak nampak (gaib).

Jadi, sebutan nenek yang menggambarkan relasi antara manusia dengan buaya bersifat hakiki yakni kasih sayang. Sebutan nenek dapat menjembatani hubungan yang saling menyayangi, melindungi antardua spesies makhluk hidup agar dalam kehidupannya tidak saling mengganggu.

Manusia yang tinggal di sekitaran sungai atau muara dan selalu memanfaatkan keberadaan sungai atau tempat buaya untuk mencari penghidupan tidak diganggu atau dimakan oleh buaya sebagai salah binatang predator/carnivore.

Demikian pula buaya tidak diganggu habitatnya. Buaya tetap dapat melanjutkan kehidupan dan berkembang biak di sungai dan muara tanpa terganggu oleh aktivitas manusia. Hal ini berlangsung turun temurun sejak ada manusia pertama kali hidup di sekitar habitat buaya tersebut.

Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam setiap makhluk hidup memiliki jiwa. Hubungan antara dua makhluk hidup adalah hubungan yang bersifat kejiwaan. Jadi pertautan antara manusia dengan buaya adalah hubungan dalam konteks jiwa dalam bentuk kasih sayang.

Hal inilah yang telah terjadi dalam rentetan waktu yang cukup panjang selama manusia atau masyarakat mendiami tempat yang dihuni buaya. Mereka dengan buaya telah ada ikatan kejiwaan yang memungkinkan dapat hidup berdampingan dan berupaya saling melindungi.

Mengapa buaya yang disebut nenek? Karena dalam konteks historis, buaya lebih duluan bermukim di sungai atau muara dibandingkan manusia. Manusia belakangan hadir di sekitaran sungai dan muara dalam membentuk perkampungan. Jadi, sejatinya manusia merasa lebih junior dibanding sang buaya maka disebutnya nenek.

Dalam sisi yang lain setiap jiwa mengalami pasang surut atau gejolak. Ungkapan nenek ini pula diharapkan dapat "menjinakkan" kejiwaan buaya dan juga tentu saja manusia. Dalam suatu waktu buaya bisa saja menerkam manusia jika merasa terancam. Hal sama juga terjadi di antara manusia dengan manusia. (*)

  • Bagikan