Sindrom Minyak Goreng

  • Bagikan

Acram Mappaona Azis
Praktisi Hukum

KENAIKAN harga bahan kebutuhan pokok menjelang bulan Ramadan, selalu seksi menghiasi ruang berita. Secara konvensional, hal tersebut merupakan hukum pasar: permintaan lebih tinggi dibanding persediaan. Jadi, secara natural akan ada pergerakan harga.

Bagaimana dengan minyak goreng yang harganya bergerak naik dan wujudnya sulit diperoleh?

Perilaku konsumerisme di Indonesia, belum memiliki standar pengukuran tersendiri, meskipun sektor konsumsi memberikan dampak terhadap pondasi perekonomian. Di masa pandemi Covid-19, sejak 2020, terlihat sektor konsumsi tetap bergerak dan cenderung stabil, dibandingkan dengan sektor produksi.

Bagaimana peran negara dalam mengelola siklus tahunan kenaikan harga dan kelangkaan barang kebutuhan pokok?

Pada prinsipnya, negara modern hanya berperan sebagai regulator dan memastikan regulasi tersebut berjalan sesuai hakikat pembentukannya. Tetapi hal tersebut tidak dianut dalam konsepsi konstitusi Republik Indonesia.

Kehadiran Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan perusahaan pelat merah, menunjukkan bahwa Republik Indonesia belum menempatkan negara sebagai regulator dan pengawas, untuk terwujudnya tertib sosial. Negara dalam konteks Indonesia, berperan sebagai regulator sekaligus pelaku usaha melalui BUMN. Termasuk bidang usaha di bidang kebutuhan bahan pokok.

Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan : “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.”

Roh dari usaha bersama dan asas kekeluargaan tersebut sebenarnya hanya ada dalam Badan Hukum Koperasi. Dalam praktiknya, nomenklatur memisahkan antara Kementerian Koperasi dan Kementerian BUMN. Menurut hemat saya, Kementerian BUMN ini sudah seharusnya dilebur dalam satu nomenklatur, dengan Kementerian Koperasi dan BUMN.

Permasalahan yang terjadi hari ini adalah, negara sebagai pelaku usaha, melalui Kementerian BUMN, tentu memiki previllage tersendiri, yang pada akhirnya melemahkan pondasi ekonomi dan melemahkan fungsi negara sebagai regulator dan penindakan (hukum publik).

Akibat dari dualisme fungsi negara adalah terdapat conflict of interest dalam penyusunan regulasi dan penindakan. Meskipun ada persaingan usaha dalam praktik usahanya, namun BUMN harus diakui memiliki hubungan intim, yang dapat melakukan persekongkolan dalam menjalankan aktivitas usaha.

Sebenarnya Republik Indonesia sudah memiliki instrumen hukum untuk mengatasi permasalahan kenaikan harga, yang terjadi karena hukum pasar, ataupun akibat dari perbuatan melawan hukum oleh pelaku usaha. Namun dalam penerapannya, terjadi konflik kepentingan antarinstansi dan lembaga negara itu sendiri.

Masing-masing ingin menjadi leader, meskipun dalam perspektif hukum, seharusnya yang proaktif ada Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha serta Lembaga Perlindungan Konsumen.

Penegakan hukum dalam sindrom kenaikan harga dan kelangkaan barang, sebaiknya melalui suatu proses hukum acara, atau tidak mempertontonkan state power, karena kejahatan dan atau pelanggaran yang terjadi, dipengaruhi variabel-variabel persaingan usaha dan perlindungan konsumen.

Namun kembali lagi, nomenklatur instansi dan lembaga negara yang masih tumpang tindih, justru menciptakan persepsi beragam, yang pada akhirnya tetap merugikan masyarakat sebagai konsumen.

Untuk itu, diperlukan interkonseksitas dan perbaikan nomenklatur, termasuk menghapus tumpang tindih kewenangan antarinstansi dan lembaga. Termasuk di level pemerintah daerah.

Apakah kita ingin menerapkan sistem negara modern atau tetap menganut sistem konvensional? Hal ini tentu berkaitan dengan political will dari pemerintah untuk merumuskan kembali road map hukum Indonesia. (*)

  • Bagikan