Oleh: AKBAR HADI, ST
Ketua Umum PW Majelis Pemuda Islam Indonesia (MPII) Sulawesi Selatan
Aksi Cepat Tanggap alias ACT sebuah lembaga pengumpul Zakat Infaq Sedekah (ZIS) di Indonesia menggemparkan publik. Bagaimana tidak, donasi umat yang dikumpulkan kurang lebih sebanyak Rp 540 miliar per tahun pada periode 2018-2020 sebagian besarnya digunakan untuk kepentingan duniawi petinggi dan pengelola lembaga tersebut.
Majalah Tempo menguliti isi dalam ACT, dari kondisi manajemen hingga penggunaan dana yang sejatinya untuk program-program kemanusiaan dan keummatan.
Masalah mulai terkuak setelah ACT mengalami krisis keuangan. Diduga akibat pemborosan dan penyimpangan dana seperti gaji petinggi yang selangit mencapai Rp 250 juta lebih per bulan. Itu khusus untuk Ketua Dewan Pembina.
Belum lagi jajaran dibawahnya yakni Senior Vice President honornya Rp 150 juta, kemudian Vice President Rp 80 juta, Direktur Eksekutif Rp 50 juta dan level Direktur mendapat Rp 30 juta per bulannya. Tidak hanya itu, setiap tahun mereka juga mendapat bonus hari raya yang nilainya pun fantastis.
Tercatat lembaga ACT memiliki 1 presiden, 3 senior vice presiden, 10 vice presiden, 14 direktur eksekutif, dan 16 direktur. Bisa dibayangkan berapa kalkulasi pengeluaran perbulannya hanya untuk menghidupi sedikit orang di lembaga itu, mencapai Rp 1 miliar lebih.
Bukan hanya itu, hal yang memiriskan adalah ditilepnya donasi umat dengan dalih untuk program pembangunan masjid dan mushola, santunan korban kecelakaan, santunan kaum dhuafa dan anak yatim, pembangunan sekolah, dan usaha wakaf peternakan, serta pembuatan unit-unit bisnis lainnya.
Seperti di Blora, Jawa Tengah. Program Wakaf Ternak dilaporkan 12.104 ekor kambing, namun fakta lapangan disebut hanya mencapai 2.196 ekor. Artinya, 9.900 kambing raib. Hasil investigasi menyebutkan kerugian mencapai Rp 6,8 miliar ditambah biaya pakan fiktif senilai Rp 2,85 miliar.
Bila bisa kita membayangkan seandainya dana penyelewengan dengan nilai ratusan miliar itu digunakan dengan baik, maka pasti sangat sangat bisa untuk menghidupi puluhan ribu kaum dhuafa dan anak yatim piatu. Juga bisa membangun ratusan fasilitas sekolah dan tempat ibadah untuk kepentingan lahir batin generasi Indonesia. Terlebih donasi yang dikumpulkan itu dari rakyat Indonesia maka sejatinya harus lebih banyak digunakan untuk kebutuhan rakyat Indonesia pula. Bukan sebaliknya yang lebih banyak menikmati donasi itu adalah negara lain.
Bukankah Rasulullah Muhammad SAW telah memberikan teladan dan pelajaran terkait sedekah. Sebagaimana hadits riwayat Abu Dawud dan An-Nasa’i perihal keutamaan sedekah secara berjenjang terhadap diri sendiri, anak, pelayan, kerabat dekat dan seterusnya.
“Dari sahabat Abu Hurairah RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda, ‘Sedekahlah kalian!’ Seorang sahabat berkata, ‘Ya Rasul, aku punya satu dinar?’ Rasul menjawab, ‘Sedekah kepada dirimu sendiri.’ Ia berkata, ‘Aku masih punya uang lagi?’ ‘Sedekah kepada anakmu,’ jawab Rasul. Ia berkata, ‘Aku masih punya uang?’ Rasul menjawab, ‘Sedekah kepada pelayanmu.’ Ia berkata lagi, ‘Aku masih punya uang lainnya?’ Rasul menjawab, ‘Kamu lebih tahu sedekah kepada siapa lagi.’” (HR Abu Dawud dan An-Nasai. Ini hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Al-Hakim).
Dalam hadits lain, Dari Salman bin Amir RA, dari Nabi Muhammad SAW, ia bersabda, ‘Sedekah kepada orang miskin (bernilai) satu sedekah. Tetapi sedekah kepada kerabat (bernilai) dua sedekah, pertama pahala sedekah, kedua pahala (jaga) silaturrahim.’” (HR An-Nasai dan At-Tirmidzi).
Dari hadits tersebut, maka sebaiknya diutamakan sedekah itu ditujukan kepada kerabat dekat meski tidak menutup kemungkinan dalam situasi tertentu bisa diberikan kepada orang lain jika mereka lebih membutuhkan dari kerabat kita.
Prilaku ACT ini tentu membuka lebar mata publik. Lembaga yang selama ini diharapkan sebagai wasilah amal jariyah untuk mendapatkan surga akhirat ternyata digunakan untuk kepentingan surga duniawi para pengelolanya.
Tentunya ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat untuk menyalurkan dana sedekahnya di lembaga filantropi manapun. Perlu dicek dan ricek rekam jejak lembaga dan profil pribadi pengelolanya. Masyarakat jangan mudah terlena dengan iklan dan promosi yang mengaduk-aduk rasa kemanusiaan untuk memancing kita mengeluarkan uang hasil keringat sendiri untuk disumbangkan di lembaga tersebut.
Bagi lembaga pengumpul ZIS, hal ini menjadi peringatan agar tidak memainkan donasi umat untuk kepentingan pribadi. Jangan sampai mendirikan ACT-ACT lain hanya untuk Aksi Cari duiT.
KH Abdul Muin Yusuf (Kali Sidenreng), mantan Ketua MUI Sulsel dan pendiri Ponpes Al Urwatul Wusqa Sidenreng Rappang, dalam ceramahnya yang juga sering dikutip penceramah lain, bahwa memilih pengurus atau pengelola keuangan masjid utamakanlah yang jujur daripada pandai. Namun lebih baik lagi bila ia jujur dan pandai. Artinya, mengelola dana ummat yang paling dibutuhkan adalah Kejujuran. (*)