MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Wacana penerapan sistem Proporsional Tertutup semakin masif. Berbagai pandangan memunculkan reaksi pro dan kontra. Tak sedikit yang menolak, bahkan menyebutnya sebagai kemunduran demokrasi.
Akademisi Universitas Bosowa (Unibos) Arief Wicaksono mengatakan pemilu dengan proporsional tertutup tidak bisa dikatakan sebagai kemunduran, kemajuan atau jalan di tempat. Tapi harus dilihat lebih komprehensif, minimal membandingkannya dengan sistem Pileg sebelumnya.
Namun sistem tertutup, muncul kekhawatiran bahwa parpol terutama elitnya, akan bertindak tertutup, tidak rasional, dan tidak juga mewakili kepentingan politik masyarakat secara lebih luas.
"Karena para caleg akhirnya dipilih berdasarkan kedekatan dengan elit dan tidak ada juga yang dapat menjamin bahwa proses dalam sistem itu akan berlangsung transparan, karena belum ada juga regulasinya. Yang terbuka saja masih banyak kasus kejahatan pemilu, apalagi itu yang tertutup," kata Arief Wicaksono, Kamis (5/1).
Sementara sistem pemilihan terbuka, kata dia sangat kuat kesan aspek transparansi dalam kompetisinya. Semua dilakukan oleh calon anggota legislatif (caleg) secara individual.
Di mana kebanyakan terjadi, partai politik sangat mengandalkan figur tersebut dalam hampir semua aspek sebuah pemilihan, mulai dari elektabilitas hingga finansial.
"Figur partai politik bisa menentukan di dapil mana dan memicu munculnya oligarki partai politik. Misalnya di level nasional, seorang figur sering dikaitkan dengan konsep vote getter (pendulang suara), sehingga coat tail effect atau efek ekor jas dapat menguntungkan partai politik dalam meraup suara," ujarnya
"Lihat di PDIP ada Jokowi, di Gerindra ada Prabowo, dan sekarang Nasdem juga sedang berupaya memfigurkan Anies untuk kebutuhan itu. Dalam konteks itulah para politisi kutu loncat juga mulai muncul dan menari-nari diatas kepentingan konstituen," lanjutnya.
Sehingga kekuatan personalitas figur akhirnya menjadi sangat berpengaruh pada sistem pemilihan terbuka. Namun, kata dia, pada sisi yang lain, bahwa partai politik akhirnya kehilangan tujuan pendirian, sekaligus jati dirinya menjadi lembaga perwakilan mewakili kehendak politik masyarakat.
"Parpol menjadi sangat lemah justru karena terjadi sentralisasi pada hampir semua aspek, mulai dari sistem komando, tata kelola, hingga anggaran. Adalah sebuah ironi, jika dalam sistem pemilihan terbuka yang diharapkan transparan, justru melahirkan partai politik sebagai pilar demokrasi utama, yang sangat tertutup dan gagal mencetak kader untuk dirinya sendiri, karena lebih suka merekrut figur yang berpotensi mendulang suara," bebernya.
Namun kata dia sistem pemilihan boleh apa saja, terbuka atau tertutup, tetapi penguatan identitas dan jati diri partai politik harus tetap dilaksanakan.
"Saya menyebutnya sebagai model hybrid dari aspek rekrutmen politik parpol dan juga sistem pemilu. Namun, model hybrid jalan tengah itu juga harus didukung oleh banyak komponen bangsa yang lain, dan jika hal itu dianggap dapat merusak status quo kepentingan tertentu, maka regulasinya juga perlu turut disepakati bersama," tandasnya. (Fahrul/Raksul/B).