MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Partai politik mulai ancang-ancang menyiapkan figur pelanjut kepemimpinan kepala daerah di kabupaten dan kota. Suksesor yang dinilai potensial tak jauh-jauh dari lingkaran keluarga kepala daerah yaitu anak, menantu, istri, ponakan, hingga kerabat paling dekat.
Meski para kepala daerah -khususnya yang sudah menjabat dua periode- tak terbuka untuk mempersiapkan orang terdekatnya, tapi upaya yang dilakukan pengurus partai dapat dibaca sebagai manuver politik. Seperti yang dilakukan oleh Partai Nasdem Kabupaten Barru yang menggadang-gadang Hasnah Syam sebagai calon bupati Barru pada 2024.
Hasnah merupakan legislator DPR RI dari Partai NasDem. Dia juga adalah istri Bupati Barru yang sekaligus Ketua NasDem Barru, Suardi Saleh.
"Kami tetap berdasarkan survei, tetapi kami siapkan Bu Dokter (Hasnah Syam) untuk maju bertarung," kata Wakil Ketua NasDem Barru Lukman.
Lukman mengatakan, potensi Hasnah Syam untuk diusung pada Pilkada Barru 2024 mendatang sangat besar. Apalagi dengan melihat latar belakangnya yang saat ini merupakan kader NasDem yang terpilih sebagai anggota DPR RI.
Ketua DPRD Barru ini mengungkapkan Hasnah Syam juga sering berinteraksi dengan masyarakat sebagai Ketua TP PKK Barru. Sehingga Lukman menilai Hasnah Syam punya popularitas yang baik di masyarakat.
"Kalau popularitas jelas Bu Dokter tidak diragukan," ujar dia.
Dia pun berharap para kader NasDem bisa bekerja untuk memenangkan Hasnah Syam untuk melanjutkan kepimpinan di Barru menggantikan suaminya yang juga kader NasDem dan sudah dua periode sebagai bupati. Dia optimistis hal tersebut tidak sulit untuk dilakukan.
Selain di Barru, banyak "orang dekat" kepala daerah lain yang juga diprediksi berpotensi menjadi suksesor. Beberapa di antaranya dr Udin Saputra Malik yang anak menantu Wali Kota Makassar Danny Pomanto, Erna Rasyid Taufan merupakan istri Wali Kota Parepare Taufan Pawe, Farid Judas Kasim di Kota Palopo, dan Arham Basmin di Kabupaten Luwu.
Dalam beberapa catatan, sejumlah keluarga dekat (anak) kepala daerah berhasil menjadi suksesor atau mengikuti jejak orang tuanya menjadi bupati di beberapa kabupaten. Sebut saja Adnan Purichta Ichsan yang melanjutkan kepemimpinan Ichsan Yasin Limpo di Kabupaten Gowa.
Di Bantaeng, Ilham Syah Azikin juga berhasil mengikuti jejak ayahnya Azikin Solthan yang menjabat bupati dua periode. Di Sinjai, Andi Seto Gadhista Asapa juga mengukir catatan sebagai bupati, sama seperti ayahnya Rudianto Asapa yang memimpin Sinjai selama 10 tahun.
Salah seorang anak bupati yang dikonfirmasi, Arham Basmin menyatakan kesiapannya untuk maju pada pemilihan kepala daerah di Kabupaten Luwu. Anak Bupati Basmin Mattayang itu mengatakan masih menunggu titah Partai NasDem sebelum memulai melakukan pergerakan.
"Pada prinsipnya saya siap jika memang ada perintah partai dan dukungan masyarakat Luwu yang membutuhkan kehadiran saya," ujar Ketua NasDem Luwu itu.
Adapun, Wali Kota Makassar Danny Pomanto menyatakan tak bisa melarang bila anak mantunya dr Udin Saputra bila punya niat untuk maju sebagai calon wali kota. Hanya, kata dia, sampai saat ini belum pernah menyatakan akan menyiapkan maupun mendorong dr Udin untuk maju.
"Saya belum pernah bilang mendukung dr Udin. Tapi, kalau dia mau maju, masak saya mau cegah?" ujar Danny.
Danny menyatakan, dirinya malah sudah mengeluarkan pernyataan mendukung Ketua DPRD Kota Makassar, Rudianto Lallo untuk maju sebagai calon wali kota. Menurut dia, Rudianto punya prospek yang bagus ke depannya.
"Saya melihat dokter Udin disayang banyak orang. Jadi, terserah kalau dia mau maju. Saya tidak akan dukung secara terbuka. Tapi, ada saatnya saya akan tentukan sikap," imbuh Danny.
Danny menegaskan, manuver dr Udin selama ini tidak berkaitan dengan dirinya sebagai wali kota. Meski dia menyatakan bahwa dr Udin juga punya hak politik sebagai warga negara.
"Yah, biarkan dia berkembang sendiri. Kalau misalnya penerimaan masyarakat cukup tinggi, kenapa tidak?" imbuh dia.
Pengamat politik dari Universitas Bosowa Makassar, Arief Wicaksono menyangkan upaya kepala daerah yang menyiapkan suksesor dari kalangan keluarga dekat. Alasannya, kata dia, hal tersebut merupakan upaya untuk melanggengkan politik dinasti.
"Sayang sekali sebetulnya kalau para suksesor ini rata-rata masih butuh endorse oleh figur sebelumnya. Apalagi suksesor itu rata-rata merupakan keluarga langsung dari figur terdahulu," ujar Arief.
Menurut dia, para suksesor itu punya waktu untuk banyak belajar bila ingin meneruskan kepemimpinan orang tuanya atau keluarganya. Arief mengatakan, investasi sosial dan politik seharusnya muncul sejak sang suksesor tersebut mulai dipersiapkan. Bukan saat melaksanakan kampanye dulu.
"Cuma kecenderungan yang muncul adalah beberapa suksesor sangat suka bergantung pada sosok kepala daerah yang sementara menjabat. Mereka tidak mau bekerja keras," imbuh dia.
Di sisi lain, para kepala daerah juga kerap telah menyiapkan suksesor secara sosial dan politik. Dampaknya, ketika tenggat akhir masa jabatan sudah dekat, baru kelabakan untuk mencari figur pengganti dari lingkaran keluarga.
"Seperti tiba masa tiba akal, akhirnya tabrak sana tabrak sini, kelihatan panik, karena kekuasaannya akan berakhir dan sadar bahwa belum mempersiapkan penerus. Akhirnya, ya, harus terpaksa mengendorse suksesor," kata dia.
Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto menilai politik dinasti sebenarnya tidak masalah, asalkan tidak diintervensi ataupun dimanipulasi sehingga kesempatan dan kompetisi politik bisa tetap berimbang. Menurut dia, beda halnya ketika memaksakan dinasti yang merusak arena politik, seperti mengintimidasi lawan, memborong partai, dan mengganggu upaya lawan politik untuk bersaing.
"Potensi politik dinasti memang selalu ada. Namun, bila pemangku kepentingan dalam pemilu mampu menciptakan regulasi yang baik dan mengkonsolidasikan aktor sehingga menjadi subjek pemilu yang taat pada aturan main, maka potensi negatif dari politik dinasti bisa diredam," ujar dia.
Sedangkan, Direktur Eksekutif Parameter Publik Indonesia Ras Md berpandangan, eksistensi trah seorang kepala daerah atau kata lainnya "dinasti politik" tentu bukanlah perkara mudah. Dia menilai, ada banyak kepala daerah yang telah usai masa jabatannya lalu ingin membangun dinasti politik melalui anak, istri, atau keluarganya, namun berujung kegagalan.
"Kegagalan keberlanjutan dinasti politik disebabkan oleh tiga faktor besar. Pertama, kultur wilayah yang tak senang dengan politik dinasti. Kedua, rendahnya pengaruh sang kepala daerah dan ketiga, figur yang diendoreses, seperti anak, istri tidak punya kharisma sebagai pemimpin," kata Ras.
Menurut Ras, bila publik puas atas kinerja kepala daerah ditambah dengan kharisma seorang figur yang diendorse, tentu publik bisa terpikat untuk memberikan dukungannya.
"Hal sebaliknya terjadi. Jika publik tak puas atau kepemimpinan kepala daerah tertentu, maka sulit bagi publik untuk menerima endorser terhadap figur yang didukung," imbuh dia. (Fahrullah-Suryadi/C)