OPINI: Manasik Haji, Haji Ramah Lansia (1)

  • Bagikan
Kaswad Sartono , Kepala Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerjasama UIN Alauddin , Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Makassar .

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dalam hadis Imam Muslim dijelaskan; suatu ketika datanglah perempuan dari daerah Khats’am meminta fatwa kepada Nabi Saw tentang hukum berhaji atas orang tuanya yang sudah tua renta. Perempuan tersebut berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh kewajiban Allah kepada hamba-hambanya dalam Haji.

Kondisi ayahku dalam keadaan tua renta. Ia tidak mampu untuk tetap berada di atas kendaraan. Apakah aku boleh melaksanakan ibadah haji untuknya?”. Rasulullah menjawab: “Iya”. Peristiwa tersebut terjadi pada saat haji wada.’”

Dalam kajian fiqhi, hadis ini merupakan salah satu dalil yang dijadikan referensi hukum dalam pelaksanaan haji badal terhadap umat Islam yang secara fisik sudah dipandang tidak mampu (istitho’ah) karena antara lain faktor usia (tua renta, syaikhan kabiran) atau dalam istilah sekarang jemaah lansia (lanjut usia).

Usia lansia, dalam perspektif undang-undang haji, pasal 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, ditetapkan yang menurut saya merupakan “kebijakan kemanusiaan” karena memberi prioritas kuota kepada Jemaah Haji lanjut Usia yang berusia paling rendah 65 (enam puluh lima) tahun yang kemudian secara teknis diatur dalam peraturan Menteri Agama.

Padahal jika Pemerintah mengambil kebijakan berdasarkan hadis nabi dan dalil-dalil lainnya (baik naqliyah maupun aqliyah) dalam rangka kemaslahatan, efektifitas dan efisiensi, Pemerintah cq Kementerian Agama dapat saja mengambil kebijakan “jemaah lansia dibadalkan”, digantikan kepada keluarganya yang sudah berhaji atau porsinya dialihkan kepada keluarganya yang masih di bawah usia 65 tahun.

Secara normatif, sangat memungkinkan sebagai inovasi hukum Islam. Namun, ibadah haji bukan sebatas masalah kemaslahatan, efektifitas dan efisiensi semata, Ibadah haji bagi umat Islam merupakan ibadah yang memiliki kompleksitas.

Dalam ibadah haji mengandung nilai-nilai aqidah, syariah dan sosial muamalah, bahkan ibadah haji dipandang sebagai penyempurna keislaman seseorang karena sudah melaksanakan rukun Islam yang lima secara keseluruhan yakni syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.

Dalam kultur sosial kemasyarakatan di Indonesia, seseorang yang sudah berhaji diberi gelar khusus “Pak Haji”atau “Ibu Hajjah”, di Bugis Makassar “Puang Aji”. Gelar atau panggilan ini tidak diberikan dan tidak dikenal kepada seseorang yang secara personal berprestasi dalam ibadah lainnya, baik dalam shalat, puasa, dan zakat.

Misalnya orang yang rajin shalat diberi gelar “Pak Shalat” atau “Ibu Shalat”, orang yang istiqomah qiyamul lail dipanggil “Pak Tahajjud” atau “Ibu Tahajjud”, Orang yang ikhlas menunaikan zakat dipanggil “Pak Zakat” atau “Ibu Zakat”. Panggilan atau gelar seperti pak shalat, pak puasa, pak zakat itu tidak akan dikenal di tengah kehidupan masyarakat.

  • Bagikan