Aksara di Atas Takhta

  • Bagikan

PENULIS: SAIFUDDIN
(Penulis adalah Direktur Eksekutif LKiS)

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Kata "aksara" seringkali kita dengar. Kadang kata ini dilekatkan pada seseorang yang tidak tahu membaca atau buta huruf sehingga disematkan kalimat "buta aksara". Padahal makna "aksara" itu bukan hanya dilekatkan pada seseorang saja yang kebetulan buta baca tulis. Tetapi, sebenarnya, "aksara" juga mengandung makna atau simbol, identitas, lambang, yang bisa berbentuk patung, huruf, lukisan, tulisan, prasasti.

Jadi makna aksara tidak berdiri sendiri tetapi lebih mencakup hal-hal yang berkaitan dengan makna dan simbol-simbol terhadap objek tertentu.

Sementara “takhta” lebih dipersonifikasikan sebagai puncak peralihan kekuasaan seseorang. Takhta juga mengandung konotasi sebagai tempat, posisi seseorang dalam jabatan tertentu. Raja misalnya, begitu pula kekuasaan. Semua berada di posisi "ketakhtaan" yakni berada di posisi tertinggi. Karenanya, bagaimana hubungannya antara "aksara" dengan "takhta"?

Secara singkat hubungannya demikian sederhana. Takhta dipersepsikan pada dimensi politik untuk tujuan kekuasaan. Aksara adalah narasi bagi keberlangsungan sebuah komunikasi politik. Aksara bukan semata huruf dan simbol, tetapi lebih pada aspek komunikasi, aspek menjelaskan makna-makna dalam kehidupan berkebangsaan, termasuk penjelasan empat pilar berbangsa.

Aksara adalah sumber lahirnya kekuasaan melalui jalur media komunikasi, bahasa, serta diksi-diksi yang mewakili kepentingan kekuasaan. Aksara seringkali kita dengan di atas panggung kampanye. Sang orator mengemukakan gagasan, ide, serta emosi di hadapan publik. Kekuatan bahasa (aksara), bertujuan membangkitkan emosi sosial publik yang ditandai dengan euforia. Sekalipun itu hanya orasi yang bersifat provokatif.

Pada aspek tertentu "aksara" begitu sangat dibutuhkan, bukan hanya saat setelah merebut takhta. Contoh, Gazali Riadi berpasangan dengan Ahmat, maka simbol aksaranya menjadi GR-AMAT, Pahruddin Dede-Muhammad Taufiq Irpoun menjadi PD-Minta Ampun, dan seterusnya.

Itu juga adalah narasi pendek dalam komunikasi politik, untuk memudahkan mengenal sosok-sosok kontestan kepada pemilih. Pilihan-pilihan diksi bertujuan menanamkan mindset pada pemilih agar mudah dikenali, walau hanya sebatas nama bukan popularitas maupun elektabilitas.

John F. Kennedy, pernah bilang, “kalau politik itu kotor maka 'puisi' akan membersihkannya. Kalau politik itu bengkok maka "sastra" akan meluruskannya”.

Ini yang disebut Aksara bermakna, politik itu indah dan penuh kesejukan, bahasa adalah pengantar untuk menjelaskan keindahan itu. Aksara begitu berarti dalam komunikasi politik dan bangunan tahta bukan hanya sederetan huruf-huruf mati yang tanpa arti dan makna.

Para pesohor politik kadang menggunakan diksi-diksi yang estetik (seksi) agar mendapat perhatian dari publik. Kenapa aksara demikian penting? Sebab hanya aksara yang mampu menjelaskan tujuan kekuasaan itu ada.
Pengartikulasian makna demokrasi, politik, hukum, ekonomi, dan lingkungan hanya mampu dijelaskan dengan kekuatan aksara. Baliho, banner, spanduk adalah bahasa politik yang didaras oleh aksara.

Aksara sebagai alat pembebasan, fonem, kata, bunyi, dan kalimat adalah manifestasi dari kekuatan aksara diatas tahta. Aksara yang baik adalah yang menepis "The political Decay", politik yang menghadirkan senyawa demokrasi yang santun dan manusiawi.

Karena itu tidak sedikit pemimpin jatuh karena kehilangan kecerdasan beraksaranya. Kontrol komunikasi lisan tak bisa ditahan, berakibat pada munculnya polemik hingga kejatuhannya karena ambruk di ujung kata-kata.
Lidah memang tak bertulang, tak bertiang sebagai penyangganya, tetapi lidah memiliki kekuatan yang mampu merobohkan tembok, termasuk kekuasaan.

Aksara adalah lisan pengetahuan, kenapa? Sebab ilmuwan sekaliber Jan Vansima dalam bukunya “Tradisi Lisan Sebagai Sejarah”, telah dengan tanpa ragu-ragu menyatakan bahwa artefak atau aksara adalah awal dimulainya pengetahuan manusia.

Dan, itu jauh sebelumnya Michel Foucault “Archeology of Knowledge” dengan gamblang menyatakan bahwa, perkembangan arkeologi sesungguhnya juga berlangsungnya ilmu pengetahuan dari fase ke fase.

Seiring dengan itu, karena aksara adalah jiwa pengetahuan, maka unsur-unsur aksara setidaknya harus mengandung kebijaksanaan (sofis) di dalam semua frame kehidupan manusia tak terkecuali dengan kekuasaan saja.

Maka jadilah pemimpin yang meletakkan kata-kata di atas kepemimpinannya. Sebab aksara yang baik adalah cermin dari pemimpin yang filosofis penuh kebijaksanaan dan cinta.

Oleh sebab itu, takhta bukanlah mahkota secara harfiah, tetapi (ia) adalah metafora dari pesan kebijaksanaan yang lahir dari lidah pemimpin. Hate speech, hinaan, dendam, saling menyerang, tidaklah mencerminkan nilai aksara yang sesungguhnya.

Politik Indonesia dari sejak pilkada langsung hingga Pilpres 2019, yang lalu ditaburi “aksara kotor”, saling memojokkan antar agensi politik. Diksi dungu, cebong, kampret, gila, kolam dan kardus, adalah aksara yang bermata pisau yang oleh sebagian orang menganggapnya sebagai satire, sarkasme atau juga parodi sebagai jalan mengkritik penguasa.

Di beberapa literatur seringkali disebutkan bahwa secara otomatis “kekuasaan” itu adalah tempat untuk dikritik. Tetapi cara mengkritiknya yang justru harus lebih elegan dan punya solusi yang didasari dari pengetahuan empirik. Tetapi yang bersoal adalah ketika “kekuasaan” menjadi anti-kritik.

Cobalah sedikit merenung, bahwa adakah kekuasaan direbut tanpa kritik? Takhta atau kekuasaan direbut bukan secara evolusioner (secara alamiah ada), tetapi kekuasaan itu ada karena adanya kompetisi. Di mana-mana kompetisi selalu diwarnai ingar-bingar.

Nah, dari sinilah kemudian aksara-emosi itu bergemuruh sebagai bentuk keberpihakan di antara merebut kekuasaan yang bertarung.

Sebagai sarana komunikasi-politik, bisa dilihat dari Talk Show seperti ILC TV ONE yang di nahkodai Karni Ilyas, kita bisa menyaksikan hiruk-pikuk aksara yang saling “menyerang dan menyeberang” di antara para narasumber.

Pada posisi tertentu egoisme membuat aksara tetap bertahan walau kehilangan kendali dan narasi yang cerdas. Dan, kita juga bisa memperhatikan dalam acara “Mata Najwa” yang dipresenteri oleh Najwa Shihab, yang memburu dan mencacah para narasumbernya dengan metodologi pertanyaan yang tajam dan kritis. Semua itu adalah bagian dari kekuatan aksara untuk memahami tahta atau kekuasaan.

Tidak heran kalau Michel Foucault yang rela bergelut dengan kertas-kertas kusam, berteman dengan orang gila, hidup dengan seks, mesin ketik, serta terlibat dalam berbagai pemberontakan, bukan untuk merebut kekuasaan, tetapi hanya untuk memahami kekuasaan. Baginya menulis (aksara-literasi), adalah pemberontakan.

Memberontak bukan ingin menumbangkan rezim (takhta), tetapi hanya ingin mengetahui sekaligus untuk menguji “kepekaan” dari suatu kekuasaan.

Karena itu, aksara dan takhta adalah dua anak panah yang tak terpisah dari busurnya. Keduanya memiliki kekuatan. Di satu sisi aksara adalah kekuatan bahasa dalam melakukan kritik sebagai kontrol politik, sementara takhta (kekuasaan) adalah menifestasi dari keinginan publik yang diterjemahkan lewat produk undang-undang sebagai bentuk penjagaan terhadap warga negara.

Dan, saat ini kita seringkali menyaksikan aksara yang berkelindan di ruang kekuasaan. Entah itu bahasa tubuh kekuasaan atau isyarat sebuah fonem bahasa tertentu? Tetapi kalau kita mencoba merespons tentang bahasa atau tubuh (body) dalam kekuasaan adalah menjadi dua hal yang sulit terpisahkan-yang bisa saja tersonifikasikan sebagai mata pisau yang tajamnya sama.

Pada tubuh yang satu bisa membunuh dan tubuh yang lain bisa melunakkan dengan bahasa lemah lembut walau isinya bermuatan pesan intimidasi. Pilihannya adalah tubuh kekuasaan boleh beda tetapi bahasa kekuasaan minimal sama. Sebuah harapan. (*)

  • Bagikan