"Kami berharap Partai Buruh bisa membawa perubahan lebih baik. Karena kami komitmen tidak ada money politic. Bahkan kami tidak pakai lembaga survei karena tidak punya uang untuk membayar. Arah kami adalah masukan, juga melihat perkembangan di media," tutupnya.
Pengamat Politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Sukri Tamma menilai, partai-partai baru sekarang ini seperti Partai Buruh masih akan sulit bersaing di Pemilu 2024.
Karena partai di Indonesia kecenderungannya masih menjual kandidat. Bagi partai-partai lama, tentu ada pemilih tradisionalnya yang pasti memilih partai siapapun kandidatnya.
Akan tetapi permasalahannya adalah partai baru, yang tentu belum terlalu tersosialisasi. Sehingga belum banyak memiliki pemilih tradisional.
"Sehingga ia sangat bergantung pada sosok kandidat. Nah, repotnya kandidat itu, mereka kan tentu berharap berada di partai-partai yang selama ini dianggap sudah punya basis. Sehingga paling tidak memudahkan mereka," kata Sukri.
"Karena tentu kandidat yang bagus, yang punya daya tarik yang bagus akan memilih partai yang sudah lama tersosialisasi karena memiliki nilai jual tinggi," lanjutnya.
Bicara tentang partai buruh, kata Sukri, tentu yang dilihat namanya. Asumsinya bahwa itu akan mewakili buruh. Tapi Pertanyaannya, apakah kemudian seperti itu, karena pengalaman di 1999, ada partai buruh, seperti Partai Serikat Buruh. Nah, apakah para buruh ini betul-betul bisa menganggap Partai Buruh sebagai muara.
"Sementara di tempat lain, ada juga partai-partai yang juga sebelum ada Partai Buruh, sudah menjalin komunikasi, afiliasi, dan seterusnya," bebernya.
Selanjutnya partai itu harus bicara tentang sumber daya. Sumber daya jaringan, ekonomi, sosial, dan seterusnya.
Tentunya kata Sukri, akan ada perbedaan antara partai yang baru dengan partai lama. Dan pastinya, apa yang dialami partai buruh tentu juga dialami partai lainnya. "Sementara suka tidak suka partai lama itu sudah mapan," pungkasnya. (Fahrullah/C)