Oleh: Ema Husain Sofyan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Polemik antarpendukung capres dan cawapres pascadebat yang ketiga begitu riuh. Baik itu di grup WA, FB, IG dan X. Tentu saja masing-masing pihak mengunggulkan capres jagoannya. Ibarat pameo yang lagi viral selama ini, katanya, ada dua orang yang sulit dinasihati yaitu orang yang lagi bucin dan pendukung capres.
Jadi pendukung capres itu agak susah untuk objektif, mereka akan lebih subjektif. Jadi seburuk apapun penampilan jagoannya dalam debat pasti akan selalu terbaik. Sebab di kepala para pendukung capres, jawaban capres selalu yang terbaik. Sekalipun yang terbaik itu belum tentu sesuatu yang benar.
Dari hasil survey LSI Denny JA, menurunnya populasi pemilih yang menonton debat capres dan cawapres itu sebanyak 47,5 persen. Itupun tidak menonton secara utuh. Bahkan, yang menonton itu beragam dari segi durasi atau lamanya menonton. Ada yang satu menit dan Lima menit saja.
Artinya yang berpeluang untuk mengubah pilihan pascamenonton debat itu adalah mereka yang menonton debat secara utuh. Ini berarti angkanya tidak signifikan untuk bisa mengubah komposisi elektabilitas. Hal ini juga menunjukkan kalau debat tetap punya pengaruh dalam mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan.
Penulis terkadang senyum sendiri melihat perdebatan yang mengarah pada debat kusir dalam grup komunitas WA. Terkadang hal sepele dari debat menjadi sesuatu yang luar biasa diperbincangkan oleh anggota grup. Bahkan pertemanan menjadi terganggu akibat fanatisme yang berlebihan.
Tidak sedikit umpatan dan kata-kata yang tidak senonoh terlontar dari kawan grup, yang selama ini dikenal santun dalam bertutur kata, namun akibat kampanye Pilpres tutur kata yang santun sirna akibat perdebatan pilpres.
Inilah tantangan pemilu serentak. Masyarakat lebih ingar bingar pada pilpres dari pada pemilihan legislatif (pileg). Padahal pileg adalah aspek yang penting dalam memilih pejabat publik. Pileg menghasilkan anggota DPR yang punya peran dalam mengawasi kebijakan strategi oleh presiden.
Bisa dibayangkan bagaimana pemerintahan dikelola ke depannya jika kualitas parlemen hasil pemilu tidak menghasilkan kualitas sebab akan menjadi bahan stempel semata oleh presiden yang berkuasa.
Semoga masyarakat lebih bijak dalam memilih setiap anggota parlemen dan DPD, tidak terpaku hanya pada kemeriahan pilpres semata. Masih ada waktu tersisa kurang lebih satu bulan untuk memilih siapa yang layak untuk mewakili kita di parlemen, utamanya pada tingkat pusat yang memang langsung melakukan fungsi pengawasan pada presiden.
Partai tentu saja tidak akan menghabiskan energi untuk memenangkan capres jagoannya. Sebab presiden yang terpilih jika tidak memiliki efek ekor jas pada partai pengusung tentu saja suatu kerugian bagi parpol.
Apalagi di tahun yang sama, pilkada serentak nasional yang pertama akan berlangsung. Untuk memilih dan mencalonkan kepala daerah, sangat ditentukan oleh jumlah kursi atau suara sah dari parpol pengusung berdasarkan hasil Pileg 2024. Belum lagi wacana untuk memajukan pilkada dari yang sebelumnya November menjadi September 2024. (*)