Waspada Modus Curang di TPS

  • Bagikan
Pileg 2024 Akan Diikuti Klan Yasin Limpo

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Kecurangan di tempat pemungutan suara (TPS) berpeluang besar terjadi pada Pemilihan Umum 2024. Bahkan, Badan Pengawas Pemilu telah mendeteksi ribuan TPS memiliki tingkat kerawanan praktik kecurangan itu berpotensi terjadi. Ayo, sama-sama mengawasi proses demokrasi lima tahunan ini dengan meminimalisasi praktik kecurangan yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.

Bawaslu Sulawesi Selatan mencatat sekitar 7.326 TPS masuk kategori rawan dari 26.350 jumlah total TPS di 24 kabupaten dan kota.

Komisioner Bawaslu Sulsel, Saiful Jihad mengatakan potensi kecurangan tersebut bersumber dari jumlah data pemilih. Menurut dia, berdasarkan temuan di Kabupaten Luwu, ribuan wajib pilih yang belum melakukan perekaman KTP.

"Ada juga pemilih yang masih terdaftar sebagai pemilih tetap tapi orangnya telah meninggal dunia," beber Saiful, Senin (12/2/2024).

Menurut dia, wajib pilih yang tidak melakukan perekaman sudah dipastikan tidak dapat memilih. Itu sebabnya, lanjut Saiful, kondisi tersebut dianggap rawan karena dikhawatirkan pemilih yang bersangkutan memaksa untuk menyalurkan hak pilihnya.

"Ada juga surat pemberitahuan orang yang sudah tidak ada, bisa dimanfaatkan oleh orang lain," ujar Saiful.
Saiful khawatir, kondisi tersebut dapat memicu dilakukannya pemungutan suara ulang (PSU) seperti yang terjadi beberapa TPS di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan pada Pemilu 2019.

Menurut dia, Bawaslu Sulsel terus melakukan upaya melakukan pencegahan agar daerah-daerah yang dianggap rawan terjadi kecurangan bisa menjadi perhatian. “Jadi teman-teman melakukan antisipasi jangan sampai terjadi dan ini juga edukasi kepada masyarakat agar sama-sama melakukan pengawasan,” tutur Saiful.

Saiful juga menyebutkan pemetaan TPS rawan ini menjadi bahan bagi Bawaslu, KPU, peserta pemilu, pemerintah, aparat penegak hukum, pemantau, dan media. “Dan seluruh masyarakat untuk memitigasi agar pemungutan suara lancar tanpa gangguan yang menghambat Pemilu yang demokratis,” tutupnya.

Tak kalah penting, kata Saiful, yakni Bawaslu juga melakukan pengawasan langsung untuk memastikan ketersediaan logistik Pemilu di TPS. “Pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara sesuai ketentuan, akurasi data pemilih dan penggunaan hak pilih,” jelas dia.

Saiful juga mengatakan, undangan pemilih bisa saja digunakan oleh orang yang tidak seharusnya. Dia mencontohkan di Kota Makassar, banyak mahasiswa yang tidak pulang kampung dan tidak mengurus surat pindah memilih dari daerah asal mereka. Mereka semua ini kata Saiful bisa menjadi pemilih ‘siluman’ dengan menggunakan surat C-Panggilan orang lain baik itu pindah domisili maupun sudah meninggal dunia.

Dengan ini pihaknya meminta kepada seluruh masyarakat terutama pengawas TPS untuk melakukan pengawasan dengan ketat agar tidak ada yang melakukan kecurangan di TPS.

“Harus memaksimalkan pengawasan dan juga teman-teman melibatkan saksi partai untuk sama-sama kawal,” ujar dia.

Sementara itu, setiap kali mendekati hari pencoblosan di TPS para caleg dan tim sukses capres menggunakan beragam modus untuk merayu masyarakat lewat "serangan fajar". Kendati demikian, berbagai pihak termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mengingat para caleg dan tim capres terkait bahaya money politik. Bahkan KPK meluncurkan kampanye "hajar serangan fajar" di Pemilu 2024.

Koordinator Divisi Humas Data dan Informasi Bawaslu Sulsel Alamsyah memberi warning kepada peserta pemilu di Sulsel, baik caleg dan capres-cawapres. Menurut dia, politik uang masih menjadi atensi publik. Ia menegaskan, bagi-bagi uang di masa tenang Pemilu 2024 menjadi praktik terlarang yang diwaspadai Bawaslu semua daerah.

"Kami akan lakukan pengawasan dan diperketat untuk mengantisipasi hal tersebut. Karena istilah serangan fajar segala macam beragam modus, apalagi terjadi saat masa tenang," ujar Alamsyah.

Alamsyah mengingatkan masyarakat dan peserta Pemilu 2024 tidak terlibat dalam transaksi politik uang jelang pencoblosan. Sebab, hal tersebut dilarang sesuai amanah dalam Pasal 515 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Menjadi kewaspadaan bersama. Kami berkewajiban mengawasi sehingga ingatkan masyarakat dan peserta Pemilu tidak melakukan money politic di masa tenang sampai hitung nanti," imbuh dia.

Berdasarkan hasil penelusuran tim Bawaslu, saat masa kampanye terdapat dugaan pelanggaran politik uang yang dilakukan caleg di Sulsel, pada tempat berbeda yakni Kota Parepare dan Kota Makassar.

"Saat masa kampanye kemarin ada indikasi dugaan bagi-bagi uang di Parepare oleh tim atau peserta pemilu dalam kampanye dan dugaan praktik politik uang yang terjadi di Kota Makassar, masih dalam kajian setelah ada laporan masuk," kata dia.

Alamsyah juga meminta kepada seluruh masyarakat untuk berpartisipasi mengawasi masa tenang dan hari pemungutan suara berdasarkan peraturan perundang-undang yang berlaku. Oleh sebab itu, dia memastikan seluruh peserta pemilu untuk menurunkan APK atau penyelenggara pemilu bersama instansi terkait menurunkan APK peserta pemilu terhitung tanggal 11 sampai 13 Februari 2024.

"Memastikan layanan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya sesuai persyaratan peraturan perundang-undang pemilu," tuturnya.

Mantan Ketua Bawaslu Sulsel, La Ode Arumahi mengatakan masa tenang pemilu sejatinya menghentikan seluruh aktivitas politik. Namun ternyata, kata dia, masa tenang malah dimanfaatkan untuk menggalang dukungan atau suara pemilih dengan melakukan 'serangan fajar'.

Dia menyebutkan, masa tenang selama tiga hari ini, mesti menjadi momentum bagi rakyat agar dapat mengevaluasi dan mempertimbangkan figur yang layak dipilih.

"Pertimbangan itu tentu saja melalui penilain sesuai hati nurani. Berdasarkan evaluasi setelah mendengar visi, misi dan program kerja dari setiap pasangan capres," ujar Arumahi.

Arumahi mengatakan, kecurangan di TPS bisa dicegah apabila peserta pemilu memanfaatkan saksi yang ada.
"Banyak peserta Pemilu kurang memanfaatkan kehadiran saksi ini di setiap TPS," ujar dia.

Dia menilai, andai saja peserta pemilu menganggap penting saksi mereka di TPS selain bisa bersinergi dgn pengawas TPS mulai persiapan pemungutan dan perhitungan hingga selesai dan menyampaikan keberatan atau protes jika ada pelanggaran prosedur yg dilakukan oleh oleh KPPS.

"Selain itu, mereka juga mendapatkan salinan dokumen termasuk sertifikat hasil perhitungan suara di TPS," beber Arumahi.

Dia menyebutkan, kepedulian peserta pemilu terhadap saksi sangat rendah, terbukti pelatihan saksi peserta pemilu hanya diikuti kurang dari 10 persen dari jumlah TPS di setiap kecamatan. Padahal keberadaan saksi di setiap TPS sangat urgen dalam mengawal proses pemungutan dan perhitungan suara di TPS.

"Hanya saja, memang kepedulian terhadap saksi rendah, buktinya mereka difasilitasi tapi kurang," tukas dia.

Pengamat politik dan pemilu dari Universitas Hasanuddin Endang Sari mengungkapkan potensi kecurangan bisa terjadi ketika pengawasan lemah di TPS, utamanya saat-saat krusial yakni waktu setelah magrib dan tengah malam. Menurut dia, potensi kecurangan bisa terjadi manakala pengawasan lemah di TPS, sehingga saksi dan Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) harus bekerja maksimal.

"Bentuk kecurangan yang mungkin terjadi pada saat proses perhitungan suara di TPS khususnya di waktu-waktu krusial seperti setelah maghrib dan tengah malam," ujar dia.

Mantan komisioner KPU Makassar itu mengatakan bila berkaca pada pelaksanaan pemilihan umum sebelumnya, pihaknya meminta agar saksi jangan tinggalkan TPS sebelum proses perhitungan suara selesai dilakukan. Selanjutnya, hal yang juga sangat mungkin terjadi adalah human error dari KPPS karena kelelahan di waktu tengah malam sehingga proses perhitungan bisa terjadi salah hitung.

"Adapun untuk mengantisipasi potensi kecurangan, perlu KPU, Bawaslu, dan saksi harus bekerja maksimal untuk menjaga, mengawasi dan mengawal kemurnian suara rakyat," imbuh Endang.

Sementara itu, mantan Ketua KPU Sulsel Mappinawang Yusuf mengatakan, potensi kecurangan saat pemilihan itu berpotensi terjadi dengan melakukan mobilisasi pemilih.

"Setiap pemilu ada potensi itu," kata Mappinawang.

Sehingga, kata dia, profesionalisme penyelenggara menjadi sangat penting untuk betul-betul menjaga. Di luar dari itu, peran masyarakat juga penting untuk menguatkan. Termasuk saksi partai dan pemantau pemilu.

"Karena modusnya sudah diketahui dari waktu ke waktu. Soal mobilisasi kalau ketat penjagaan maka setiap harus perlu diawasi dengan baik. Maka mesti KPPS harus paham, bagaimana surat suara dan dimana cek pemilih dan sebagainya," imbuh Mappinawang.

Menurut Mappinawang, jam-jam akhir merupakan kerawanan untuk dimanfaatkan untuk kecurangan. Di waktu itu, biasanya bisa dimanfaatkan surat suara yang tidak terpakai.

"Itu biasanya tiba-tiba banyak orang datang memobilisasi dengan menggunakan surat suara sisa itu," beber dia.

Ini dikarenakan, lanjut Mappinawang, penyelenggara di TPS mulai kelelahan sehingga itu bisa lolos karena tidak teliti lagi.

"Jadi bagi yang peduli dengan pemilu yang jujur dan adil (jurdil) itu harus benar-benar mengawasi jam-jam yang rawan," imbuhnya.

Apalagi, kata dia, Daftar Pemilih Khusus (DPK) itu mudah dimobilisasi karena hanya menggunakan KTP. Sehingga ia menegaskan, integritas penyelenggara menjadi penentu.

"Kalau longgar maka bisa dimanfaatkan oleh kawannya. Termasuk di goda dengan materi. Karena peserta itu kan kecenderungannya mau menang. Sehingga segala cara mau dilakukan," kata Mappinawang.

Selain integritas, penting pengawasan ketat. Namun masalahnya lagi, kata dia, saksi-saksi dari peserta pemilu itu bisanya tidak terampil. Artinya, saksi itu tidak mampu membaca gejala-gejala yang ada. Sehingga ia menyarankan, agar para peserta pemilu membekali saksinya dengan tidak mengandalkan catatan saja.

"Juga harus juga andalkan mulut. Langsung protes jika menemukan dugaan kecurangan," ucap Mappinawang. (fahrullah-suryadi/C)

  • Bagikan