Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Sejarah pemikiran dalam Islam memperkenalkan satu kelompok yang sering kali dituding sebagai biang kerok robohnya persatuan umat, yakni kelompok Khawarij.
Kelompok ini dikenal sebagai kelompok yang tadinya pengikut Ali Karramallahu wajhah, kemudian membelot dan memisahkan diri dari barisan Ali bin Abi Thalib.
Sejarah menuturkan bahwa pembelotan kelompok Khawarij disebabkan tidak setujunya mereka dengan penyelesaian masalah antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sofyan yang menempuh cara tahkim atau dikenal dengan istilah arbitrase.
Meskipun perjalanan sejarah dalam Islam menyebutkan, bahwa kelompok Khawarij saat ini tidak berujud sebagai aliran teologi lagi telah punah ditelan zaman, namun pemikirannya tetap ada.
Pecahnya ukhuwah atau persaudaraan Islam banyak dikaitkan dengan paham kelompok Khawarij yang menganut prinsip “tidak ada hukum kecuali yang ditetapkan Allah (La Hukma Illa lillah)”.
Mereka juga mengusung paham “siapa yang menetapkan hukum selain yang diturunkan Allah, maka mereka telah berbuat zalim, fasik, dan kafir”.
Di antara umat Islam ada pula yang beranggapan bahwa untuk mewujudkan persatuan umat dan terhindar dari perpecahan yakni kembali kepada Al-Qur'an.
Sementara yang lain beranggapan bahwa inilah awal perbedaan kita.
Dengan mengacu pada ayat yang sama, akan melahirkan beberapa pendapat boleh jadi berbeda antara satu dengan lainnya.
Misalnya bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim membatalkan wudu. Hal ini melahirkan beberapa pendapat apakah wudu menjadi batal atau tidak? Demikian seterusnya pada beberapa masalah lainnya.
Mengenal dan memahami lebih jauh karakteristik paham Khawarij, boleh jadi di antara umat Islam Indonesia pun tidak terkecuali. Meskipun Khawarij tidak pernah masuk ke Indonesia, karena keburu punah.
Untuk mengenal karakteristik dan tanda-tanda pengikut Khawarij di antaranya adalah: pertama, pemahaman yang formalistik. Mereka sangat patuh kepada teks-teks Al-Qur'an dan hadis, bahkan nyaris tidak dapat menangkap yang tersirat. Mereka hanya mengambil yang tersurat saja.
Misalnya, dalam hal pengangkatan pemimpin. Mereka tidak mau taat pada apa yang ditempuh oleh Abu Musa Al-Asyari mewakili kelompok Ali bin Abi Thalib, dan Amr bin Ash mewakili Muawiyah bin Abi Sufyan dalam menyelesaikan secara musyawarah dan perdamaian perang Shiffin.
Menurut kelompok Khawarij mengapa harus musyawarah? Selesaikan saja menurut Al-Qur'an. Karena itu, mereka mengkafirkan semua yang terlibat dalam peristiwa tahkim yakni: Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Abu Musa Al-Asy’ari, dan Amr bin Ash. Dengan argumen bahwa tahkim tidak terdapat dalam Al-Qur'an.
Kedua, taat ritual tetapi kurang ukhuwah. Kelompok Khawarij sangat patuh menjalankan ibadah ritual, mereka rajin bangun tengah malam. Bila mereka mendengar ayat-ayat Al-Qur'an tentang neraka, bergetarlah tubuh mereka, seolah-olah mereka berada di pinggir api neraka.
Dahi mereka hitam karena bekas sujud, tidak jarang dalam salat mereka menangis terisak-isak.
Meskipun demikian, mereka sangat kaku dalam hubungan sosial terutama sesama kaum muslim.
Riwayat menyebutkan dalam perjalanan dari Kufah ke Nahrawan, seorang Khawarij berjumpa dengan seorang Nasrani dan seorang Muslim.
Mereka menjamu dan menghormati Nasrani itu, karena menurut mereka kaum Dzimmi harus dilindungi menurut Al-Qur'an.
Sedang orang Islam mereka bunuh karena berbeda pendapat dalam masalah agama, terutama dalam menyikapi kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Kepada kita semua diperhadapkan dengan pertanyaan: Adakah di antara kita yang berpegang secara kaku pada Al-Qur'an dan hadis hanya untuk mendukung dan membenarkan pemikiran kelompok kita dan tidak menghormati pandangan dan pemahaman kelompok lain?
Apakah kita dengan mudah mengkafirkan sesama Muslim hanya karena berbeda paham dan pendapat dengan kita? Jika kita menjawab “ya”, itu berarti kita termasuk memiliki andil dalam perpecahan umat. (*)