Mitos Waktu

  • Bagikan
Darussalam Syamsuddin

Oleh: Darussalam Syamsuddin

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Tanggal 1 Muharam 1446 Hijriah bertepatan dengan hari Minggu 2024 Masehi. Muharam adalah bulan pertama dalam penanggalan Hijriah. Mengandung banyak keutamaan bukan musibah atau kecelakaan. Tidak ada kaitannya dengan jatuhnya pesawat, tenggelamnya kapal, robohnya tanggul atau pengairan dengan 1 Muharam.

Tidak ada hubungannya dengan ruginya transaksi, tidak ada relevansinya dengan bercerainya atau bubarnya pasangan suami istri. Muharam justru mengandung keutamaan, misalnya, puasa yang paling utama sesudah puasa Ramadan adalah puasa di bulan Muharam serta keutamaan lainnya.

Di antara mitos waktu dikaitkan dengan pertanda nasib, menguntungkan atau mengecewakan, dan waktu sebagai sesuatu yang melimpah. Islam melarang kita mencela waktu. Tidak ada waktu yang jelek seperti halnya dengan tempat.

Waktu berkaitan dengan orang dan peristiwa. Orang tua yang tidak mampu mengarahkan anak-anaknya berdalih bahwa apa yang menimpa mereka merupakan kehendak zaman. Sebagai pelarian terhadap apa yang menimpa keluarga mereka, zaman atau waktu yang mereka salahkan.

Perjalanan waktu hendaknya disikapi positif. Islam menuntun untuk memperhatikan dan mengevaluasi diri berkaitan dengan tiga hal. Pertama, ibadah. Salah seorang pemenang hadiah Nobel dalam bidang Biologi, Alexis Carel menyebutkan bahwa salah satu musibah yang menimpa manusia modern adalah ketika mereka kehilangan kesempatan untuk beribadah atau tidak punya waktu untuk berdoa kepada Tuhan.

Jiwa manusia modern itu sakit karena mereka meninggalkan fitrah kemanusiaannya. Ketika semua manusia beribadah, tidak akan menambah kekuasaan Tuhan. Demikian pula jika semua manusia ingkar dan tidak beribadah, tidak akan mengurangi kekuasaan-Nya. Namun, ibadah adalah untuk kebutuhan manusia sebagai madrasah menuju ketakwaan.

Kedua, perolehan rezeki. Memang benar ungkapan yang mengatakan bahwa uang bukanlah segala-galanya, tapi tanpa uang akan susah segala-galanya. Karena itu, dalam menekuni profesi atau pekerjaan untuk memperoleh rezeki hendaknya memperhatikan motivasi kerja, jenis pekerjaan, cara kerja, dan manfaat pekerjaan.

Motivasi kerja hanya mencari rida Allah. Di masa Rasulullah saw, seorang sahabat berkata, "sungguh beruntung pemuda itu muda usia, kuat fisiknya sekiranya digunakan untuk berjihad di jalan Allah".

Nabi berkata, "jangan berkata begitu sahabatku, kalau pemuda untuk keluar dari rumahnya untuk mencari nafkah agar dia tidak menjadi peminta-minta. Jika dia keluar rumah untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, maka dia telah berjihad di jalan Allah."

Ketiga, jenis pekerjaan. Islam tidak membeda-bedakan pekerjaan. Mana pekerjaan halus, mana yang kasar. Mana yang diselesaikan dengan otak, mana yang diselesaikan dengan otot. Sepanjang dapat dipertanggungjawabkan secara moral.

Salah seorang sahabat Nabi bernama Abu Saad Al-Anshary, sebagai seorang buruh pemecah-belah batu untuk dijual agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Ketika berjumpa dan bersalaman dengan Nabi, beliau menegur, "wahai Abu Saad kenapa tanganmu kasar dan melepuh tidak seperti tangan orang lain?"

Abu Saad menjawab, "tangan ini saya gunakan untuk bertukang dan bertani karena itu tidak mulus seperti tangan orang lain."
Nabi yang sering kali dicium tangannya oleh umatnya, justru mencium tangan Abu Saad dan berkata, "tangan seperti inilah yang akan selamat dari jilatan api neraka, karena tidak membeda-bedakan pekerjaan."

Cara kerja. Islam mengajarkan agar umatnya bekerja tidak asal kerja, tidak asal jadi, tidak asal selesai. Tapi, terinspirasi dari pesan Tuhan, “berbuat baiklah kamu sebagaimana Tuhan berbuat baik kepadamu".

Kerja dalam Islam harus dilakukan secara profesional. Pada akhirnya kerja dalam Islam harus berorientasi mendatangkan manfaat kepada sesama manusia. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan perorangan. Semakin banyak orang yang mengambil manfaat, semakin tinggi kualitas kerja di sisi Tuhan. (*)

  • Bagikan