Temuan Bawaslu Sangat Minim

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Badan Pengawas Pemilihan Umum Sulawesi Selatan "cuma" mengandalkan partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan dugaan pelanggaran pemilu dan pemilihan kepala daerah saat ini.

Hal itu terbukti dengan banyaknya pelanggaran didominasi laporan dari masyarakat. Sedangkan, pelanggaran yang merupakan murni temuan Bawaslu sangat minim.

Lantas, apakah ini indikasi bila "taji" Bawaslu sebagai pengawas pemilu selalu tumpul di tengah minimnya sumber daya manusia yang kerap menjadi "kambing hitam" atas kurangnya temuan pelanggaran tersebut?

Data yang dilansir oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sulawesi Selatan mengenai penangan pelanggaran baik itu temuan maupun laporan menyebutkan, dari 24 kabupaten/kota dan provinsi, dugaan pelanggaran didominasi laporan warga sebanyak 285 kasus. Sementara kasus yang merupakan temuan mandiri lembaga ini hanya 45 perkara.

Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulsel, Alamsyah mengatakan banyaknya laporan yang masuk dari pihak luar menjadi pertanda bahwa masyarakat aktif melakukan pengawasan dalam pesta demokrasi ini.

"Ini bentuk masyarakat proaktif dalam melakukan pengawasan pilkada ini," kata Alamsyah kepada Rakyat Sulsel, Senin (11/11/2024).

Alamsyah beralasan, minimnya temuan Bawaslu baik di provinsi maupun kabupaten/kota karena pihaknya tidak mampu mengawasi semua bentuk pergerakan dari pasangan calon maupun tim pemenangan.

Dia juga berdalih, Bawaslu Sulsel saat ini hanya fokus melakukan pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran.

"Bawaslu dari sisi sumber daya juga jumlahnya sangat terbatas dibandingkan dengan luasnya wilayah yang harus diawasi sehingga perlu partisipasi semua pihak dalam melakukan pengawasan pelaksanaan kampanye," tutur dia.

Alamsyah menolak mengomentari mengenai banyaknya laporan di sejumlah daerah, namun tak satupun ditemukan oleh Bawaslu setempat. Beberapa daerah yang Bawaslu tidak mendapatkan temuan dugaan pelanggaran seperti Kabupaten Gowa (32), Barru (12), Jeneponto (4), Sidrap (2), Soppeng (7), Tana Toraja (12) dan Bawaslu Provinsi mendapatkan 26 laporan.

Alamsyah menyebutkan peran serta masyarakat dalam melaporkan dugaan pelanggaran tersebut sangat membantu Bawaslu dalam melaksanakan kerja-kerja pengawasan pemilu.

"Laporan masyarakat membantu kerja-kerja Bawaslu dalam penanganan pelanggaran baik itu administrasi maupun pidana," imbuh dia.

Pemerhati Demokrasi Sulawesi Selatan, Azry Yusuf menjelaskan Bawaslu memiliki tiga fungsi utama dalam menjalankan tugasnya, yaitu pencegahan, pengawasan, dan penanganan pelanggaran.

"Fungsinya ada tiga yaitu pencegahan, pengawasan, dan penanganan pelanggaran (Pemilu dan Pilkada)," ujar Azry.

Terkait apakah Bawaslu harus menunggu laporan dari masyarakat baru melakukan penindakan atau bisa langsung melakukan penanganan tanpa harus ada laporan, Azry menjelaskan, Bawaslu dalam melakukan pengawasan bisa menemukan sendiri pelanggaran.
Azri mengatakan dalam melakukan pengawasan Bawaslu bisa melakukan penindakan sendiri jika menemukan pelanggaran di lapangan.

Termasuk saat mendapatkan laporan awal dari masyarakat, Bawaslu juga bisa langsung melakukan penelusuran atas informasi awal tersebut.

"Jadi tanpa ada laporan, seperti contohnya pengawas pemilu melakukan pengawasan kampanye atau pemungutan penghitungan suara, di situ ada pelanggaran, pengawas pemilu bisa mencatat sebagai pelanggaran dan itu namanya temuan," ungkap Azri.

"Ada juga informasi awal yang disampaikan kepada pengawas pemilu lalu kemudian informasi awal ini sebelum di register sebagai temuan ditelusuri dulu, di investigasi dulu. Kalau hasil investigasi itu cukup bukti permulaan maka dicatat sebagai temuan juga. Dia juga masuk dalam kategori temuan karena temuan itu dua sumbernya, hasil pengawasan langsung dan hasil penelusuran dari informasi awal," lanjut dia.

Kemudian untuk penindakan lainnya, Bawaslu disebut memiliki kewajiban menerima laporan dari masyarakat terkait adanya dugaan pelanggaran pemilu maupun pilkada. Namun laporan tersebut dijelaskan harus disertakan bukti-bukti dan syarat lainnya.

Dia menjelaskan, penindakan atau strategi penegakan hukum oleh Bawaslu hampir sama dengan kepolisian. Selain melakukan penyelidikan sendiri atas temuan atau informasi yang didapatkan, juga menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai dugaan pelanggaran pemilu atau pilkada.

"Kedua adalah laporan, itu yang disampaikan pelapor secara langsung ke pengawas yang disertakan bukti dan syarat-syarat lainnya yang dikenal dengan syarat formil dan materil," tutur Azry.

Mantan komisioner Bawaslu Sulsel itu mengatakan, dalam melakukan pengawasan dan penindakan Bawaslu memiliki sejumlah sumber daya manusia (SDM) atau petugas lapangan meskipun jumlahnya terbatas. Mereka disebut-disebut melakukan pekerjaan pengawas dan penindakan bukan hanya di dunia nyata tapi juga di dunia maya atau media sosial.

"Dan objek pengawas bukan hanya kampanye-kampanye yang ada di alam nyata. Pengawas pemilu juga melakukan pengawasan yang ada di dunia maya dan juga melakukan pengawasan beberapa tahapan yang berjalan beririsan," ujar Azry.

Beratnya beban kerja Bawaslu dan tidak berbanding lurus dengan SDM yang ada, kata Azri, membuat pengawasan pemilu atau pilkada tidak akan berjalan maksimal. Terlebih pada penyelenggaraan pilkada serentak yang baru pertama kali dilakukan ini.

Dengan begitu, partisipasi masyarakat juga disebut sangat penting dalam membantu pengawas pemilu mendapatkan informasi akan adanya dugaan-dugaan pelanggaran pemilu di lapangan.

Partisipasi masyarakat yang dimaksudkan yakni dalam konteks penegakan hukum. Di mana dijelaskan bahwa ada dua mekanismenya, pertama menyampaikan laporan secara langsung ke Bawaslu yang disertakan bukti-bukti, dan kedua menyampaikan informasi awal.

Karena informasi awal, kata dia, juga bisa proses berdasarkan mekanisme yang ada. Dalam peraturan Bawaslu, informasi awal tersebut akan dibawa ke dalam rapat pleno yang kemudian dilakukan penelusuran dengan jangka waktu tujuh hari.

"Saya juga termasuk orang yang mengatakan kita tidak bisa berharap banyak pengawas pemilu bisa mengawasi semua sisi pada waktu yang bersamaan. Sehingga memang membutuhkan partisipasi masyarakat," kata Azry.

Lebih jauh, Azry menyampaikan proses penanganan perkara pemilu atau pilkada memang harus dilakukan secara cepat dikarenakan waktu penanganannya sangatlah singkat dikarenakan berkaitan dengan tahapan pelaksanaan Pemilu atau Pilkada yang waktunya juga dibatasi.

Dalam Undang-undang Pemilu, disebut Bawaslu harus melakukan penanganan sejak diketahui atau menemukan pelanggaran paling lambat lima hari.

Begitu juga dengan proses penyidikan dan proses di pengadilan yang hanya bisa dilakukan selama tujuh hari.

"Memang karena tahapan pemilu itu terbatas. Seluruh harapannya kita itu, pembuat undang-undang seluruh aktivitas penanganan pelanggaran atau penegakan hukum itu utamanya yang berpengaruh terhadap proses pemilu itu semuanya harus selesai," ujar dia.

Azry menjelaskan dalam proses penanganan perkara Bawaslu dan Gakkumdu berbeda karena pelanggaran pemilu atau pilkada disebut kebanyakan ada pada masalah administrasi.

Dia mengatakan, pengawas pemilu atau Bawaslu tugas utamanya adalah melakukan pengawas pemilu dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran pemilu.

Kehadiran Gakkumdu itu disebut hanya berkaitan dengan tindak pidana pemilu jika ada laporan yang berkaitan dengan tindak pidana pemilu maka barulah Setra Gakkumdu bisa ikut melakukan pembahasan, apakah betul ada tindak pidana pemilu di dalamnya atau tidak.

Akan tetapi, terhadap kasus-kasus yang merupakan pelanggaran administrasi juga masuk sebagai pelanggaran tindak pidana pemilu maka keduanya harus bersinergi sebagaimana amanat undang-undang.

"Pengawas pemilu itu harus menangani pelanggaran administrasi pemilunya dan tanpa campur tangan Gakkumdu, kecuali pidana mandiri Bawaslu, sengketa mandiri juga. Tetapi kalau ada pidana pemilunya maka Gakkumdu harus terlibat. Tapi memang ada beberapa pelanggaran administrasi yang sebetulnya juga diancam pidana. Seperti umpama kasus-kasus syarat pencalonan ada pelanggaran administrasi di situ tapi kebetulan pelanggaran administrasi juga diancam di ketentuan pidana. Sehingga pengawas pemilu itu melakukan proses administrasi dan juga meneruskan kepolisian (Gakkumdu) untuk menangani proses pelanggan pidana pemilunya," imbuh dia.

Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto mengatakan jika dirinya telah melakukan penelitian masalah dugaan pelanggaran pemilu. Penelitian itu dia lakukan sejak Pilkada 2018 dan Pilkada 2020, dan temuan sangat rendah dibandingkan laporan.

"Temuan kami, 70 persen lebih itu dilaporkan tim sukses terhadap tim lawannya. Sementara sebagian kecil itu dilaporkan oleh masyarakat," kata Andi Ali.

Andi Ali menyebutkan kebanyakan yang diproses itu hanya temuan Bawaslu sendiri dan laporan masyarakat yang bukan bagian tim Sukses.

"Masyarakat biasanya menemukan ketidaknetralan ASN dan kepala desa," kata dia.

Andi Ali menyebutkan masyarakat saat ini sebagian besar belum paham yang mana pelanggaran pemilu dan mana pidana pemilu.

"Tapi ini hanya persoalan sosialisasi, karena tidak bisa mengcover seluruh masyarakat. Pelanggaran pemilu ada administrasi dan ada yang sifatnya pidana," imbuh Andi Ali.

Andi Ali juga menyebutkan pelanggaran pidana pemilu berpotensi terjadi jelang hari "H" yakni politik uang.

"Masyarakat juga menyembunyikan dugaan pelanggaran pidana pemilu mereka mendapatkan keuntungan dalam hal politik uang," tutur dia. (fahrullah-isak pasa'buan/C)

  • Bagikan