Hoaks dan Kampanye

  • Bagikan
Ema Husain Sofyan

Oleh: Ema Husain Sofyan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Indonesia akan melaksanakan pilkada serentak secara nasional untuk kali pertama pada 27 November 2024. Amerika Serikat sebagai master plan demokrasi juga telah melaksanakan pemilihan presiden dan mengantarkan Donald Trump sebagai pemenang.

Hiruk pikuk demokrasi berawal saat Pilpres AS pada 2016 yang lalu. Saat Donal Trump menggunakan mahadata dan penyasaran mikro saat melakukan kampanye. Dengan menyebarkan informasi yang tidak benar dan penuh hoaks, melalui media sosial seperti Facebook, X (Twitter), Instagram, dan media sosial lainnya. Alhasil dengan cara itu Donald Trump muncul sebagai pemenang Pilpres AS dengan mengalahkan Hillary Clinton dari Partai Demokrat.

Menjelang pemilu di Indonesia, saat itu kita menyaksikan kampanye hitam dan hasutan terhadap kandidat bakal capres yang dilakukan oleh simpatisan. Sekalipun kasus lima tahun lalu tidak lagi sekeras saat pemilu dan pilpres 2024 yang baru berlangsung. Salah satu penyebabnya adalah akibat kontestan pilpres diikuti oleh tiga kandidat.

Untuk meredam agar berita hoaks tidak merajalela, maka edukasi pada pemilih menjadi efektif untuk disosialisasikan oleh stakeholder kepemiluan dan semua pihak yang merasa berkepentingan untuk menciptakan pilkada yang damai dan bermartabat. Semisal, mensosialisasikan bahwasanya baik pembuat maupun penyebar berita bohong terkait Pilkada 2024 di media sosial dapat dijerat hukum Pidana. Baik itu dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) maupun UU terkait Pemilu dalam hal ini dijerat dengan Pidana Pemilu.

Penyebaran hoaks yang kerap terjadi akibat masih rendahnya literasi masyarakat kita. Setiap informasi yang diterima langsung diteruskan atau disebarkan pada pihak lainnya, tanpa membaca dan menganalisa apakah itu hoaks atau memang disebarkan untuk menyerang pihak tertentu. Termasuk yang lagi marak saat kampanye pilkada saat ini adalah jurkam yang menyerang personal pihak tertentu.

Pengguna internet yang pesat di Indonesia, tidak diimbangi dengan kemampuan berpikir kritis terhadap semua informasi yang diterima. Berdasar hasil survei minat baca kita memang masih rendah sehingga informasi yang diterima tidak dicerna dan dipilah terlebih dahulu. Terkesan berita yang diterima atau disebar oleh tokoh idola adalah sebuah informasi yang benar.

Sebaiknya KPU selaku penyelenggara pemilu semestinya membuat regulasi khusus dalam hal penggunaan teknologi digital, terkhusus pada media sosial yang banyak diakses oleh warga negara Indonesia, utamanya dalam masa kampanye agar parpol dan pasangan calon terpantau pergerakannya dalam masa kampanye, berupa materi kampanye yang tidak mengandung kampanye hitam dan hoaks yang dapat menyerang kontestan lainnya. (*)

  • Bagikan