M. Arafah Raih Gelar Doktor, Teliti Paradigma Hakim dalam Dispensasi Kawin di Sulsel

  • Bagikan
M. Arafah

MAKASSAR, RAKYATSULSEL – M. Arafah resmi menyandang gelar doktor setelah berhasil mempertahankan disertasinya dalam sidang promosi doktor di Program Studi Dirasah Islamiyah, Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Kamis, 20 Maret 2025.

Ujian promosi dipimpin langsung Direktur Program Pascasarjana (PPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Prof. Dr. H. Abustani Ilyas MA

Dalam disertasinya yang berjudul "Paradigma Penetapan Hakim terhadap Problematika Dispensasi Kawin Perspektif Maslahah (Studi Pengadilan Agama Sulawesi Selatan)", Arafah mengulas secara mendalam tentang kebijakan hukum hakim dalam mengabulkan maupun menolak permohonan dispensasi kawin di Sulawesi Selatan.

Penelitian ini mengkaji tiga hal utama: paradigma hakim dalam menetapkan dispensasi kawin, pertimbangan hukum berbasis prinsip maslahah, serta dampak putusan pengadilan terhadap pemohon dan masyarakat.

“Paradigma hakim saat ini bertumpu pada kepentingan terbaik bagi anak, berlandaskan asas kemaslahatan,” kata Arafah dalam presentasinya.

Ia menjelaskan bahwa sejak perubahan batas usia minimal perkawinan dalam UU No. 16 Tahun 2019, permohonan dispensasi kawin di Sulawesi Selatan cukup tinggi. Data menunjukkan, sepanjang 2020 hingga 2023, terdapat ribuan permohonan yang diajukan ke Pengadilan Agama. Tercatat, pada 2020 sebanyak 3.966 perkara, 2021 sebanyak 3.929 perkara, 2022 turun menjadi 2.663 perkara, dan 2023 sebanyak 1.569 perkara.

Permohonan terbanyak datang dari Pengadilan Agama Sidenreng Rappang, Sengkang, dan Soppeng. Arafah menyebut, dominasi kasus tersebut dipicu berbagai faktor. “Mulai dari married by accident (MBA), tekanan ekonomi, perjodohan, hingga kuatnya pengaruh budaya,” ujar dia.

Menurut Arafah, hakim di pengadilan agama menghadapi dilema dalam mengambil keputusan. Di satu sisi, menolak permohonan bisa berujung pada pernikahan di bawah tangan tanpa legalitas negara. Di sisi lain, mengabulkan permohonan justru dianggap kontraproduktif terhadap upaya pencegahan perkawinan anak.

“Dalam banyak kasus, hakim memilih keputusan yang paling kecil mudaratnya. Pengabulan dispensasi dianggap sebagai jalan tengah demi menghindari mafsadat yang lebih besar,” jelasnya.

Disertasinya menyoroti bahwa putusan dispensasi kawin bersifat sukarela (voluntair). Namun, implikasinya sangat luas. Jika dikabulkan, pernikahan bisa dicatatkan secara sah di Kantor Urusan Agama (KUA). Jika ditolak, tidak jarang berujung pada pernikahan tanpa pencatatan negara.

Arafah juga menilai adanya kontradiksi dalam penerapan dispensasi kawin dengan upaya pemerintah menekan angka perkawinan anak di Indonesia. Oleh karena itu, ia mendorong penguatan sinergi antar-stakeholder, baik lembaga hukum, pendidikan, maupun sosial, untuk menangani akar persoalan.

“Paradigma hukum progresif berbasis maslahah diperlukan, agar keputusan hakim tidak hanya sah secara yuridis, tetapi juga memberikan keberlanjutan kemaslahatan masyarakat secara luas,” katanya. (*)

  • Bagikan