GOWA, RAKYATSULSEL - Prof. Dr. Mustari Mustafa. Mpd menilai konklusi pemikiran Jenderal Dr. Dudung Abdurachman dalam bukunya menunjukkan paradigma perkembangan dan perubahan baru untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI), Sabtu (31/12).
Hal itu dikatakan Dosen Filsafat UIN Alauddin Makassar ketika menghadiri Bincang Buku Dudung Abdurachman yang digelar oleh Dewan Pengurus Perisai Sulsel bersama Yayasan Gerak Bersama Indonesia di Cafe Melo, Jalan Sultan Alauddin Samata, Gowa pada Jumat (30/12) malam.
Prof Mustari mengatakan ditengah tengah haus akan wacana-wacana, buku ini sangat relevan memberikan tawaran tentang bagaimana konstruksi publik terhadap dunia militer.
Dengan diskusi publik seperti ini, Prof Mustari menjelaskan bahwa dengan adanya buku ini maka konstruksi TNI bisa terbuka, yang sebelumnya mungkin dunia militer itu dunia tertutup.
"Na kita diskusikan di alam terbuka melibatkan teman-teman mahasiswa dengan narasumber berbeda dan perspektif masing-masing. Ini menunjukkan bahwa ada Paradigma, ada perubahan, ada perkembangan baru dunia TNI yang mungkin bisa disebut TNI yang semakin terbuka, semakin adaptif, semakin transformatif dan semakin intelektual," sebut Prof Mustari kepada wartawan.
Prof Mustari juga menanggapi, di Buku Dudung dengan Judul Super Humble sangat tertarik dengan pernyataan seorang Maestro TNI, seorang Profesor Inteligen Bapak Jenderal Hendro Priyono.
Kata Dosen Filsafat tersebut, Jendral Hendro Priyono menyampaikan bahwa ada kesejajaran meskipun berbeda secara periode, waktu dan usia. Akan tetapi ada kesejajaran antara pola strategi kemampuan-kemampuan yang dilakukan oleh mereka para Senior dengan apa yang dilakukan oleh seorang Dudung.
"Beliau mengatakan bahwa ada kualifikasi" yang sangat bagus pada diri seorang Jenderal Dudung yang mencerminkan sosok TNI yang merupakan harapan Negara Indonesia, bahwa Negara kita saat ini mengalami dua ancaman Disintegrasi yakni Disintegrasi Geografis dan Disintegrasi Ideologis," ucapnya.
Meskipun secara Geografis lanjutnya, sangat menyayangkan adanya pihak-pihak luar yang ingin mencaplok wilayah Negara Indonesia, dan tentu TNI merupakan leading sector dalam permasalahan ini.
"Yang kedua disintegrasi ideologis dimana ideologi kita atau konsep kenegaraan kita, kesepakatan kesepakatan kebangsaan kita sedikit agak di rongrong begitu ya, untuk tidak disebut diancam oleh adanya wacana dan adanya percobaan dari kelompok tertentu untuk ada yang ingin mengganti Ideologi dan seterusnya," katanya.
"Tentu ini merupakan hal yang sangat serius, na Buku ini Relevansinya ada disitu, artinya ingin memberikan satu Challenge kepada TNI agar jangan tutup mata dengan ancaman Disintegrasi seperti ini," sambungnya.
Disisi lain, menurut Akademisi Universitas Muhammadiyyah Makassar Dr. Abdi Mpd mengungkapkan bahwa Jenderal Dudung merupakan seorang Metaverse.
"Dalam buku ini jelas tertulis para penulis didalam buku melihat pak Dudung itu sebagai seorang yang berfikiran seorang Metaverse, ada beberapa hal diluar dari kebiasaan yang ada. Dimana misalnya dalam prajuritan militer itu taat kepada Komando tetapi ada sentuhan lain, sentuhan Metaverse, " ucapnya.
Dia juga menilai Buku tentang Jenderal Dudung mengambil sari kepemimpinannya, mulai dari karir bawah bukan sapa-sapa hingga menjadi seorang Jenderal. Juga menceritakan keunikan pak Jenderal yang mencintai apa yang disebut dengan senjata adalah sebuah modal.
" Namun dalam buku beliau berfikir dengan pengembangan sebagai manusia bahwa senjata itu bukan segalanya tapi ditentukan oleh Depend On Men Behind The Gun, jadi Sumber Daya Manusia itu penting, beliau menginspirasi bagaimana perkembangan SDM itu tidak boleh kita mapan dengan posisi Jenderal tetapi harus dilengkapi dengan kemampuan Akademik," tandasnya Dr. Abdi. (Adk)