Oleh : Yarifai Mappeaty
DALAM sepuluh tahun terakhir, Gowa termasuk kabupaten yang memiliki perekonomian paling stabil di antara 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Hal ini terlihat pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2013 – 2022, di mana laju pertumbuhan ekonomi Gowa selalu di atas rata-rata Sulawesi Selatan (Sulsel).
Bahkan bukan hanya itu. Pada saat pandemi covid-19 melanda, ekonomi Gowa masih tetap tumbuh hingga 1,76%, hanya mengalami perlambatan. Sedangkan pada saat yang sama, 75% kabupaten/kota lainnya hanya tumbuh di bawah 1%. Malahan ada 11 kabupaten/kota mengalami kontraksi, minus di bawah 0%. Tak terkecuali Kota Makassar yang merupakan kontributor terbesar bagi PDRB Sulsel selama ini.
Akan tetapi, statistik pembangunan Gowa sangat tak nyaman dilihat tatkala sampai pada parameter PDRB per kapita. Mengacu pada parameter pembangunan tersebut, Gowa bersama dua kabupaten lainnya, yaitu, Jeneponto dan Tana Toraja, adalah penghuni dasar klasemen PDRB per kapita Sulsel. Bahkan pada periode 2014 – 2019, Gowa selalu menempati urutan paling buncit. Dengan kata lain, Gowa adalah daerah miskin menurut parameter PDRB per kapita.
Tentu kondisi ini paradoks. Sebab dari sisi PDRB atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha, Gowa selalu lima besar tertinggi. Begitu pula pada aspek pertumbuhan, Gowa tak pernah mengecewakan. Dari 2011 hingga 2019, pertumbuhan ekonomi Gowa, rata-rata tumbuh di atas 7%. Bahkan pernah mencapai 9,42% pada 2013.
Salahnya dimana? “Masalanya adalah 40% penduduk Gowa membelanjakan uangnya di Makassar,” ungkap Adnan Purichta Ichsan, pada suatu kesempatan ngopi bareng dengannya di Sungguminasa dua hari berselang. “Sedangkan dalam perhitungan PDRB per kapita, 40% penduduk tersebut tetap dimasukkan sebagai faktor pembagi,” lanjutnya.
Mendengar penjelasan Bupati Gowa itu, saya diam-diam membuka kalkulator lalu coba menghitung. 40% dari total penduduk Gowa saat ini yang mencapai 790.000 jiwa, sama dengan 316.000 jiwa. Tidak usah kita ambil semuanya, tapi cukup 250.000 saja. Sekiranya 250 ribu itu belanja di Makassar setiap hari, rata-rata 50 ribu, maka jumlahnya mencapai 12,5 milyar sehari.
Kamudian, jika hari kerja 25 hari sebulan, maka jumlah belanja penduduk Gowa di Makassar mencapai 312,5 milyar setiap bulan, atau 3,75 trilyun dalam setahun. Wow, fantastik. Pantas saja Adnan, begitu ia dipanggil, menaruh perhatian besar terhadap masalah ini. Sebab setiap tahun, Gowa kehilangan pendapatan sekitar 4 trilyun. Simulasi ini sekaligus menunjukkan kalau PDRB per kapita Gowa yang dilaporkan selama ini, tidak realistis, jika tak disebut sebagai PDRB per kapita semu.
Bayangkan jika uang sebesar itu berputar di Gowa, maka tidak hanya memacu laju pertumbuhan, tetapi juga dapat meningkatkan PDRB per kapita secara riil. Andai ini terjadi, maka dapat dipastikan bahwa Gowa tak lagi tampak sebagai kabupaten miskin dalam angka statistik, dan, bahkan PDRB per kapita Gowa pun akan jauh lebih realistis.
Melihat posisi Gowa sebagai penyangga Makassar, saya kemudian membayangkan Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek), sebagai penyangga DKI Jakarta. Bodetabek juga mengalami PDRB per kapita semu. Mungkin hanya berbeda pada jumlah penghasilan yang dibelanjakan penduduk Bodetabek di Jakarta, jauh lebih besar.