Sebagai “anak idiologis” saya selalu bertanya dalam hati dan bertahun-tahun mencari “password” keberhasilan dan keberkahan hidup Prof. Iskandar Idy. Tapi akhirnya saya yakin dengan sendirinya bahwa amalan-amalan Prof Iskandar Idy di bawah inilah yang menjadi kata kunci sukses, keberkahan dan ketokohan Prof. Iskandar Idy. (1) Kepedulian dan kedermawanannya, (2) Cepat tidur dan qiyamul lail secara istiqomah, (3) Yasinan “fadhilah” setiap malam Jum’ah, (5) Hormat sekali sama ulama dan kyai, (6) Biasa marah tapi tidak dendam.
Kelima, Prof. Iskandar Idy sebagai Pemimpin Keluarga yang Harmonis. “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya” Begitulah salah satu hadis Nabi saw.
Dalam membina rumah tangga bersama Hj. Rahmah halim yang dikaruniai empat anak yaitu H. Nurkhalis, H. Muliadi, Hj. Darariani, dan H. Fadli Ananda, gak tahu persis berapa cucu beliau.
Prof. Iskandar Idy memang termasuk suami yang sangat dekat dengan keluarganya.
Dari kedekatan dan perhatian Beliau kepada keluarganya, inilah juga menurut saya, beliau ditakdirkan wafat di rumah kediaman bersama istri dan anak-anaknya. Padahal tanggal 17 April saat ajal tiba sejatinya adalah jadwal terbang ke Singapore untuk berobat.
Suatu ketika dalam perjalanan dari Luwu Timur ke Makassar, di mobil dinas Kakanwil ada empat orang yaitu Prof. Iskandar, Ibu hj. Rahmah, dan saya serta sopir. Setelah melewati Mangkoso, ibu mau beli bandikek (semangka) dan sayur labu yang diperjualbelikan di sepanjang jalan itu.
Di kesempatan itu, Prof. Iskandar sekalian buang air kecil yang memang sudah agak kebelet. Setelah selesai hajatnya, tiba-tiba Prof. Iskandar Idy mengajak saya masuk kembali ke dalam mobil. Ketika Ibu haji sudah masuk mobil, begitu juga oleh-olehnya sudah disimpan di bagasi, tiba-tiba Prof. Iskandar bicara sambil guyonan yang mobilnya mulai jalan.
“Kaswad, pantas itu penjual bandikek dan sayur di sini tidak bisa kaya.” Komen Pak Kakanwil, “kenapa Pak” sahut saya.
Pak Kakanwil lanjutkan keherannya: “Kita gak dengar tadi Ibu menawar semangka? Bayangkan Kaswad, penjual bilang Rp 6 ribu, masih di tawar 5 ribu”. Ibu langsung menjawab: “memang begitu ibu-ibu, bagus kalau menawar.”.
Prof. Iskandar menyahut sambil main-main: “untung ibu penjual tadi tidak tahu bahwa pembelinya itu istri Kakanwil.” Mobil terus jalan, sambil cerita kebiasaan ibu-ibu kalau belanja, yang tidak sama model belanja bapak-bapak yang malu menawar.
Sesampainya di Kota Pangkajene Pangkep, Prof. Iskandar Idy kasih tahu sopir untuk berhenti di RM tujuh Tujuh, warung makan ikan bakar langganan Prof Iskandar Idy. Ini yang saya suka perjalanan sama almarhum karena beliau itu tidak kuat tahan lapar.