Upah Murah Masih Hantui Buruh

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Ribuan buruh dari berbagai organisasi di Makassar memperingati Hari Buruh Internasional, kemarin. Dengan berdemonstrasi, para buruh menyuarakan tuntutan ke wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan.

Di depan gedung DPRD Sulsel, Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, selain orasi sejumlah massa aksi juga mencoba mendobrak pintu gerbang Gedung DPRD Sulsel. Mereka memaksa masuk dan meminta anggota DPRD menemui mereka dan menyampaikan sejumlah tuntutannya.

Selain itu, di lokasi aksi juga terlihat ada empat mobil komando (mokom) terparkir. Saling bergantian perwakilan buruh naik ke mobil tersebut untuk menyampaikan aspirasinya.

Adapun organisasi buruh yang terlibat diantara, Konfederasi Serikat Nusantara (KSN), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Sulsel, Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK) dan Serikat Pekerja Driver Maxim Nusantara (SP-DMN).

Presiden KSN, Mukhtar menyampaikan kondisi buruh di Sulawesi Selatan masih sangat memprihatinkan. Bukan hanya karena masih banyak perusahaan yang tidak melaksanakan norma-norma ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam ketentuan perundangan yang berlaku, tapi juga regulasi dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah masih banyak yang merugikan kepentingan kaum buruh.

"Upah murah, ketidakpastian kerja akibat sistem kerja kontrak atau outsourcing, hingga perlindungan sosial yang lemah masih menghantui nasib buruh saat ini," ujar Mukhtar.

Belum lagi, kata dia, Undang-undang Omnibus Law yang terus dipaksakan pemerintah untuk diberlakukan sementara dalam sejumlah poin undang-undang tersebut bermasalah dan semakin merugikan kaum buruh.
Salah satu aturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 yang dinilai banyak memangkas hak-hak buruh, seperti berkurangnya besaran nilai pesangon dan penghargaan masa kerja, memperkuat sistem kerja kontrak dan outsourcing dan melanggengkan politik upah murah.

"Kaum buruh masih dipandang sebagai warga negara kelas dua, padahal kontribusi kita begitu besar pada perekonomian negara," ujarnya.

Lanjut, Undang-undang Cipta Kerja juga disebut semakin menguatkan bawa hari ini Indonesia berada dalam cengkraman oligarki ekonomi politik kapitalisme atau kelas pemilik modal. Sebab sejak awal Omnibus Law Cipta Kerja dirumuskan pemerintah hanya melihatkan perwakilan dari asosiasi pengusaha, segelintir akademisi dan birokrat.

Seolah-olah aspirasi buruh disebut diserap melalui pertemuan yang digelar oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Sehingga hal itu dianggap semakin mempertegas keberpihakan pemerintah yang hanya mengakomodasi kepentingan oligarki atau kelas pemilik modal.

"Khusus di Sulsel, kondisi buruh tidak kalah memprihatinkan. Pelanggaran-pelanggaran norma hukum ketenagakerjaan marak dilakukan oleh perusahaan. Mulai dari pelanggaran upah minimum, pelanggaran jam kerja, melakukan perjanjian kerja yang tidak sesuai ketentuan perundangan, melakukan union busting atau pemberangusan serikat hingga melakukan PHK tanpa memenuhi hak buruh atas pesangon dan penghargaan masa kerjanya," turut Mukhtar.

Masalah ini juga dinilai diperparah dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Sulsel yang bertanggungjawab atas pengawasan, penegakan hukum dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang sering kali tidak maksimal dalam menjalankan tugasnya.

Hal itu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang di antaranya adalah keterbatasan personil, keterbatasan anggaran sampai adanya dugaan oknum pegawai dinas yang berpihak pada kepentingan pengusaha dengan imbalan tertentu.

"Salah satu contoh, personel pengawas ketenagakerjaan dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di Sulsel tidak lebih dari 20 orang berdasarkan data. Sementara perusahaan yang harus diawasi di seluruh wilayah Sulsel berjumlah sekitar 21.800 badan usaha dengan jumlah pekerja yang tercatat sekitar 700.000. Pengawas ketenagakerjaan juga terkadang kesulitan untuk melakukan pengawasan karena tidak dibekali dengan anggaran yang memadai. Hal itu menunjukkan bahwa politik anggaran pada pemerintah masih tidak mengakomodir kebutuhan pada bidang ketenagakerjaan," terangnya.

Ketua DPRD Sulawesi Selatan (Sulsel) Andi Ina Kartika Sari temui para buruh yang menggelar unjuk rasa di depan kantor DPRD Sulsel. Politikus Partai Golkar tersebut menyampaikan, pihaknya telah menerima sejumlah poin atau pokok yang dikeluhkan para buruh di Sulawesi Selatan.

"Insyaallah kami akan menindaklanjuti sesuai yang ada pada kewenangan-kewenangan pada kami dan kewenangan yang ada pada pusat. Yakin dan percaya apa yang menjadi harapan-harapan teman buruh akan kami teruskan ke pemerintah pusat," ujar Ina Kartika.

Ina Kartika mengatakan, apa yang disampaikan oleh perwakilan buruh kepada pihaknya akan ditindaklanjuti melalui rapat dengar pendapat (RDP) yang dijadwalkan digelar pekan depan.

"Minggu depan kami sudah menjadwalkan untuk RDP langsung dengan pemerintah Provinsi Sulsel untuk menghadirkan langsung Dinas Ketenagakerjaan dan Biro Hukum untuk kita secara bersama-sama menyelesaikan masalah yang ada pada buruh tentunya," sebutnya.

Adapun beberapa poin yang menjadi tuntutan buruh diantaranya, mendesak pemerintah untuk mencabut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, mencabut revisi Undang-Undang KPK juga mencabut revisi Undang-Undang Minerba.

Tak hanya itu para buruh juga mendesak pemerintah untuk mewujudkan pendidikan gratis, ilmiah dan demokratis bagi seluruh rakyat, wujudkan reformasi agraria yang sejati, dan segera sahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. (isak pasa'buan-suryadi/B)

  • Bagikan