KPK Garap Pengusaha Penyetor Uang Suap Auditor BPK Sulsel

  • Bagikan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka babak baru perkara suap kepada auditor Badan Pemeriksa Keuangan Sulawesi Selatan. Kali ini, penyidik KPK mulai menggarap para pengusaha yang diduga menyetor uang suap tersebut melalui tangan mantan Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Sulsel, Edy Rahmat.

Kepala Pemberitaan KPK, Ali Fikri menyatakan penyidik KPK mulai melakukan pemanggilan dan pemeriksaan beberapa pengusaha yang tercatat menyetor uang untuk suap ke auditor BPK Sulsel.

"Pemeriksaan saksi tindak pidana korupsi terkait pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2020 pada dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR), untuk ER (Edy Rahmat) dan kawan-kawan (auditor BPK Sulsel)," ujar Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya kepada Rakyat Sulsel, Rabu (10/5/2023).

Pemeriksaan tersebut digelar di ruangan penyidik Direktorat Kriminal Khusus Polda Sulsel, Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar.
Adapun pengusahaan atau kontraktor yang diperiksa oleh penyidik KPK RI di antaranya Kwan Sakti Rudi Moha, Rendy Gowary, H. Sutta, Mawardi Bin Pakki, dan A.M. Parakkasi Abidin.

Sementara dari pihak pemerintahan dari Provinsi Sulsel di antaranya, Andi Muh Guntur (PTT Bidang Bina Marga PUPR Provinsi Sulsel), Junaedi (PNS/Sekretaris Bappelitbangda Provinsi Sulsel), dan Fariz Akbar (PTT Bidang Bina Marga PUPR Provinsi Sulsel).
Untuk diketahui, Kwan Sakti Rudi Moha juga disebut salah satu kontraktor yang ikut menyetor uang kepada Edy Rahmat sebesar Rp200 juta. Kwan Sakti Rudi Moha sempat mengerjakan proyek Lego-lego yakni pembangunan pelataran kawasan kuliner Centre Point Of Indonesia (CPI) yang dimenangkan oleh PT Alam Lintas Indonesia dengan nilai kontrak Rp 24.932.884.390.

Pengerjaan proyek di CPI hingga proses penyetoran uang diketahui turut melibatkan Rendy Gowary dan H. Sutta. Pemberian uang atau penyetor uang Rp200 juta itu melalui H. Sutta pada Februari 2021 bertempat di depan rumah Rendy Gowary di wilayah Kecamatan Rappocini, Makassar.

Sementara Mawardi Bin Pakki alias Haji Momo merupakan salah satu pengusaha dan kontraktor yang ikut menyetor uang sebanyak Rp 250 juta kepada terpidana mantan Sekretaris Dinas PUTR Sulsel, Edy Rahmat.

Lalu A.M Parakkasi Abidin yang merupakan pegawai PT. Mega Bintang Utama milik pengusaha dan kontraktor Mawardi Bin Pakki alias Haji Momo, yang dalam kasus ini namanya juga ikut tercatat sebagai penyetor uang sebanyak Rp 250 juta.

Sebelumnya, empat eks auditor BPK Sulsel divonis lebih tinggi oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Makassar, pada awal Mei lalu. Terdakwa satu Gilang Gumilar divonis dengan pidana 5 tahun dan denda Rp300 juta, jika denda tidak dibayar diganti dengan kurungan 6 bulan penjara. Begitu juga dengan terdakwa dua Wahid Ikhsan divonis 8 tahun dan denda Rp300 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan 6 bulan.

Kemudian terdakwa tiga Yohanes Binur divonis 4 tahun 8 bulan dan denda Rp300 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan 6 bulan. Sementara terdakwa empat Andi Sonny divonis 9 tahun dan denda Rp300 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan 6 bulan.

Dalam persidangan, hakim mengatakan mantan Kepala BPK Perwakilan Sulawesi Tenggara ini terbukti menerima uang Rp 100 juta dari terdakwa Gilang Gumilar untuk mengurus pengangkatan dirinya jadi kepala BPK Sulsel.

"Memerintahkan agar para terdakwa tetap dalam tahanan. Jika JPU dan para terdakwa keberatan, silahkan mengajukan banding selama tujuh hari setelah putusan," ucap Yusuf saat membacakan putusan.

Para terdakwa juga dianggap melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a, Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Perbuatan para terdakwa juga melanggar Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Adapun pertimbangan hakim yang memberatkan para terdakwa adalah penyelenggara negara yang tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Selain keempat terdakwa paham akan perbuatannya, dalam kode etik BPK juga disebut sangat jelas bahwa menerima hadiah atau janji adalah bentuk pidana.

"Hal yang meringankan karena pelaku belum pernah dihukum, punya tanggung jawab keluarga dan bersikap sopan selama persidangan," ujarnya. (Isak Pasa'buan/C)

  • Bagikan