Ketiga, kata akademisi Unhas itu. Maraknya penggunaan sosial media dan internet. Pelaku ujaran kebencian dapat berlindung pada anonimisitas atau menggunakan akun palsu. Ia dapat lebih leluasa mengungkapkan kebencian di dunia sosial.
"Keempat, literasi sosial politik yang rendah. Hal ini berkaitan dengan pemahaman masyarakat yang menganggap bahwa politik itu adalah perebutan kekuasaan, sehingga segala cara dihalalkan. Padahal itu keliru," tururnya.
Lantas bagaimana, cara yang bisa ditempuh adalah dengan mengedukasi publik secara simultan, komprehensif, dan konsisten.
"Simultan artinya secara berkelanjutan, terus-menerus. Masyarakat harus selalu diberi asupan informasi bahwa ujaran kebencian itu hal buruk," jelasnya.
Selain itu kata dia. Komprehensif artinya menyeluruh, melibatkan seluruh elemen. Aparat penegak hukum harus memberi contoh dengan memberi tindakan tegas pada pelaku ujaran kebencian. Politisi memberi instruksi agar pendukung dan pengikutnya tidak melakukan ujaran kebencian.
"Para ulama, akademisi, semua komponen terlibat dalam upaya mengeliminasi ujaran kebencian ini sesuai porsi dan kapasitas masing-masing," demikian saranya.
Selain itu dikatakan, konsisten artinya upaya mengatasi ujaran kebencian ini dilakukan setiap saat. Jangan sampai pada saat berkuasa, melarang ujaran kebencian, tapi saat menjadi oposisi atau ingin merebut kekuasaan malah menghalalkan.
"Begitu juga dalam penegakan hukum. Siapapun yang melakukan harusnya memperoleh sanksi yang tegas, tanpa pandang bulu," pungkasnya. (Yad/B)