MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Salah satu warga Kecamatan Manggala, Kota Makassar, Wahida (36 tahun) mempunyai tiga anak yang masih berusia rentan. Dua diantaranya memiliki pengalaman pahit hingga mengancam kehidupan mereka ketika insiden terbakarnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Antang sekitar bulan September 2019 silam.
Wahida menceritakan, karena sekolah dasar (SD) kedua anaknya yang tidak jauh dari TPA, mereka langsung dipulangkan meski proses belajar mengajar belum usai.
Setibanya dirumah, dua anak Wahida masing-masing berumur sembilan dan 12 tahun itu tampak cemas, panik serta trauma pada insiden saat itu. Pasalnya, mereka sempat merasakan sesak napas karena asap tebal yang ditimbulkan atas kebakaran TPA Antang.
“Mereka sedih, gemetaran dan panik tiba di rumah. Hanya sedikit bercerita bahwa asap tebal yang mengepungnya membuat mereka sulit bernapas. Sehingga, mereka tidak ingin bersekolah sebelum api di TPA Antang betul-betul padam,” kata Wahida.
Wahida juga bilang, kedua anaknya sangat terpukul dengan kejadian tersebut, selain tidak ingin bersekolah, mereka juga tidak dapat bermain serta bersosialisasi dengan teman-temannya, sama seperti hari-hari biasanya.
Tak hanya itu, kata dia, asap tebal yang ditimbulkan selama kurang lebih empat hari membuat Wahida takut akan kesehatan anak-anaknya.
“Api di TPA sangat lama padam. Sekitar empat hari kami terus merasakan asap tebal yang ditimbulkan. Kami cemas jika kejadian ini berdampak kepada kesehatan anak-anak kami,” tuturnya.
Parahnya lagi, lanjut Wahida, karena asap tebal tersebut dia tidak dapat berjualan kue sama seperti hari-hari sebelumnya. Karena dia takut penyakit asma yang dideritanya kambuh.
“Saya tidak dapat berjualan karena takut penyakit saya kambuh. Selain itu, harus menjaga anak-anak dirumah karena mereka dikeluarkan dari sekolahnya. Memang kejadian saat itu sangat mengganggu aktivitas kami,” jelas Wahida.
"Bau tidak sedap TPA Antang yang tiap hari mereka hirup juga merupakan hal yang membuat mereka gelisah," tutupnya.
Sementara itu, Kepala Departemen Advokasi dan Kajian WALHI Sulsel, Slamet Riadi mengungkapkan, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memprediksi bahwa anak-anak atau orang yang lahir pada tahun 2020 akan merasakan dampak perubahan iklim 20 kali lipat dari sekarang.