Kejati Sulsel Pastikan Endus Pelaku Lain Kasus Dugaan Korupsi Pembangunan Bendungan Paselloreng

  • Bagikan
Kejati Sulsel tetapkan tersangka kasus dugaan mafia tanah dalam Kegiatan Pembayaran Ganti Rugi Lahan Pembangunan Bendungan Paselloreng, di Kabupaten Wajo tahun anggaran 2021. (foto: Isak Pasa'buan)

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan (Sulsel) memastikan bakal terus mendalami peran oknum-oknum lain dalam dugaan korupsi Kegiatan Pembayaran Ganti Rugi Lahan Pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo tahun anggaran 2021.

Meskipun diketahui dalam kasus ini Penyidik Kejati Sulsel telah menetapkan enam orang tersangka masing-masing, Andi Jusman (AJ) selaku Anggota Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) yang juga diketahui menjabat sebagai Kepala Desa Paselloreng, dan Jumadi Kadere (JK) selaku Anggota Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) yang juga diketahui menjabat sebagai Kepala Desa Arajang, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo.

Sementara empat orang lainnya yakni Andi Ahyar (AA), merupakan Ketua Satgas B dari Kantor BPN Wajo, kemudian Nundu (ND), Nursidin (NR) dan Ansar (AN) sebagai Anggota Satgas B yang merupakan perwakilan masyarakat.

Kasi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Soetarmi mengatakan, penyelidik terus melakukan penelusuran para oknum yang diduga ikut bermain dan turut menikmati uang hasil korupsi dalam kasus ini.
"Yah, tidak menutup kemungkinan ada (tersangka lain), atas perbuatan melawan hukum dan orang yang dianggap bertanggung jawab," kata Soetarmi, Jumat (27/10/2023).

Hanya saja, Soetarmi masih enggan berspekulasi lebih jauh terkait siapa saja yang nantinya memungkinkan masuk bidikan penyelidik sebagai calon tersangka. "Tapi itu nanti kita lihat dulu, seperti apa kedepannya," tutur Soetarmi.

Dalam kasus korupsi ini, Soetarmi mengatakan pihaknya telah memeriksa ratusan orang saksi hingga menyimpulkan keenam orang tersangka itulah yang patut bertanggung jawab pada kasus ini. "Sampai sekarang ini ada 157 saksi sudah diperiksa penyidik," ujarnya.

Sebelumnya Soetarmi menyampaikan, penetapan keenam orang tersangka dilakukan pihaknya setelah proses penyelidikan dan pemeriksaan ratusan saksi dan menemukan dua alat bukti yang cukup terhadap keenam orang tersebut.

"Kami menaikkan status enam orang saksi menjadi tersangka yakni AA, ND, NR, AN, AJ dan JK. Mereka ditetapkan tersangka setelah mendapatkan minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana yang diatur dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP," ujar Soetarmi.

Adapun para tersangka, langsung dilakukan penahanan selama 20 hari ke depan. Mereka dibawa ke Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IA Makassar untuk proses penahanan dan menunggu proses hukum selanjutnya.

"Karena dikhawatirkan para tersangka akan menghilangkan barang bukti yang ada sehingga langsung dilakukan penahanan," sebutnya.

Untuk pasal yang disangkakan terhadap keenam tersangka yakni Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-undang RI Nomor: 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang RI Nomor: 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke- 1 KUHP.

Serta Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor: 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang RI Nomor: 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke- 1 KUHP.

Pada kasus ini Soetarmi juga membeberkan kronologi dugaan korupsi mafia tanah yang dilakukan enam orang tersangka tersebut. Di mana, pada tahun 2015 Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang melaksanakan pembangunan fisik Bendungan Paselloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo.

"Lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo diantaranya terdapat lahan yang masih masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Laparepa dan Lapantungo yang terletak di Desa Paselloreng dan Kabupaten Wajo yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai Kawasan Hutan HPT," sebutnya.

Selanjutnya, kata dia, dilakukan proses perubahan Kawasan hutan dalam rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan, salah satunya untuk kepentingan Pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo.

Lalu pada 28 Mei 2019 terbit Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesian Nomor : SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019 tentang perubahan kawasan Hutan menjadi bukan Hutan Kawasan Hutan seluas + 91.337 HA, perubahan fungsi kawasan hutan seluas + 84.032 dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas + 1.838 HA di Provinsi Sulawesi Selatan.

"Setelah mengetahui adanya Kawasan hutan yang dikeluarkan untuk kepentingan lahan genangan bendungan Paselloreng maka tersangka AA (selaku ketua Satgas B dari BPN Kabupaten Wajo) memerintahkan beberapa honorer di Kantor BPN Kabupaten Wajo membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) sebanyak 246 bidang tanah secara bersamaan pada tanggal 15 April 2021," ujarnya.

Lalu Sporadik tersebut, lanjut Soetarmi, diserahkan kepada tersangka AJ selaku Kepala Desa Paselloreng untuk ditandatangani dan tersangka JK selaku Kepala Desa Arajang turut menandatangani Sporadik untuk tanah eks Kawasan yang termasuk di Desa Arajang.

"Bahwa isi Sporadik diperoleh dari informasi dari tersangka ND, tersangka NR dan tersangka AN selaku anggota Satgas B dari Perwakilan masyarakat yang mana isi Sporadik yang dimasukkan tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan," terang Soetarmi.

"Bahwa oleh karena 241 bidang tanah tersebut merupakan ex Kawasan hutan yang merupakan tanah negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai lahan/tanah garapan, maka pembayaran terhadap 241 bidang tanah telah merugikan keuangan negara sebesar Rp13,2 miliar berdasarkan hasil perhitungan BPKP Sulsel," pungkasnya. (isak/B)

  • Bagikan