MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Penetapan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri sebagai tersangka kasus pemerasan dan gratifikasi membuat lembaga penegak hukum di negeri ini makin carut marut. Sebelumnya, jabatan Anwar Usman sebagai ketua Mahkamah Konstitusi juga harus dicopot karena melakukan pelanggaran etik berat. Jelang Pemilu 2024, wajah hukum makin jatuh ke titik paling bawah.
Polda Metro Jaya menetapkan Ketua KPK Firli Bahuri sebagai tersangka pemerasan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Ade Safri Simanjuntak menuturkan, status sebagai saksi naik menjadi tersangka berdasarkan hasil gelar perkara di Polda Metro Jaya.
"Dengan hasil ditemukannya bukti yang cukup untuk menetapkan saudara FB (Firli Bahuri) selaku Ketua KPK RI sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi," ujar Ade.
Sebelumnya, laporan dugaan pemerasan ini disampaikan pada Agustus 2023. Kemudian kasus ini naik tahap penyidikan pada Jumat, 8 Oktober 2023. Mereka yang sudah diperiksa hampir 100 orang, di antaranya Syahrul Yasin Limpo, Firli Bahuri, pejabat KPK, Kevin Egananta Joshua, hingga Kapolrestabes Semarang Komisaris Besar Polisi Irwan Anwar.
Firli dijerat Pasal 12e, Pasal 12B, dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 KUHP.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya sudah memeriksa Firli Bahuri dua kali di Badan Reserse Kriminal Polri. Dia selalu menghindari wartawan yang mencoba mengkonfirmasi pasca pemeriksaan. Firli Bahuri membantah dirinya memeras dalam perkara ini. Dia merasa ada perlawanan balik dari koruptor.
Dua rumah Firli digeledah, yaitu di Jakarta Selatan dan di Kota Bekasi. Barang bukti yang disita dan diperiksa adalah dokumen dan barang elektronik, pecahan penukaran valas dari beberapa money changer atas mata uang dolar Singapura dan dolar Amerika Serikat dengan jumlah terkonversi Rp 7.468.711.500 sejak Februari 2021 sampai September 2023.
Sementara itu, masih segar dalam ingatan kita proses pencopotan Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi pascaputusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, tentang uji materi syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi membuktikan bahwa Anwar melanggar kode etik berat karena berkaitan dengan konflik kepentingan. Atas putusan Anwar cs, ponakannya Gibran Rakabuming Raka bisa maju sebagai kontestan pemilihan presiden dan wakil presiden 2024.
Guncangan yang melanda dua institusi penegak hukum menjelang Pemilu 2024 dinilai tidak terlepas dari kepentingan politik tertentu. Ironisnya, marwah lembaga hukum tersebut melahirkan pesimisme publik.
Banyaknya polemik yang terjadi di lingkaran penegak hukum menciptakan gejolak di tengah-tengah masyarakat yang tengah menanti momentum demokrasi. Banyak pihak mulai mempertanyakan apakah lembaga-lembaga ini masih dapat dipercaya sebagai penjaga keadilan dan integritas?
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Profesor Amir Ilyas menilai, hal yang menimpa dua lembaga penegak hukum yang lahir dari anak kandung reformasi itu tidak lepas dari kepentingan politik.
"Dalam hemat saya, carut marutnya hukum yang menimpa pimpinan MK dan pimpinan KPK sangat susah untuk kita tidak mengatakan semuanya disebabkan oleh kepentingan politik," ujar Amir Ilyas kepada Harian Rakyat Sulsel, Kamis (23/11/2023).
Menurut dia, penegakan hukum di negeri ini tidak lagi murni seperti apa yang dicita-citakan yaitu pencapaian keadilan, tetapi lebih banyak dilatarbelakangi oleh kepentingan politik tertentu. Menurut dia, yang bisa mengubah dan memberikan tekanan agar penegakan hukum tetap pada tujuan utamanya ketika viral di sosial media.
Namun hal itu juga disebut kerap kali masih diabaikan oleh para pemegang kuasa. Kritikan atau masukan dari masyarakat melalui media sosial masih diabaikan dan tidak didengar. Institusi penegak hukum dinilai baru berbenah saat benar-benar diterpa masalah, jika masih gejala itu diabaikan.
"Rata-rata institusi sekarang nanti mau berbenah jika institusinya sudah terlanjur terjadi pembusukan, jika hanya semacam ada gejala yang memungkinkan lembaga itu rusak, ada kecaman, kritikan, institusi tersebut tetap enjoy-enjoy saja," imbuh Amir.
Begitu juga dengan independensi penegakan hukum di lembaga-lembaga negara Indonesia, kata Amir Ilyas, saat ini menemui tantangan berat sebagaimana tercermin dalam sejumlah peristiwa yang terjadi. Terlalu besarnya intervensi kekuasaan eksekutif terhadap lembaga yudikatif menimbulkan masalah baru atas tegaknya hukum di negeri ini.
Seperti kasus mantan pimpinan Mahkamah Konstitusi Anwar Usman yang dihadapkan pada potensi konflik kepentingan. Sejak awal pencalonan sebagai hakim MK, Anwar Usman disebut menuai kritik sehingga diminta untuk mundur dikarenakan potensi terjadi konflik kepentingan dengan presiden.
Hanya saja, Anwar Usman tetap bertahan dan belakangan atau pada saat kritikan publik meledak saat MK mengeluarkan putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, tentang uji materi syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden, MK baru mau berbenah.
Demikian juga dengan KPK sebagai lembaga independen yang disebut dipaksa dieksekutif agar KPK gampang dikontrol oleh Presiden sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif.
"Independensi penegakan hukum sulit terwujud karena terlalu besarnya intervensi kekuasaan eksekutif terhadap lembaga-lembaga yudikatif," sebut Amir.
Belum lagi soal rekrutmen bagi para pimpinan penegak hukum di Indonesia disebut ada yang keliru. Amir mengatakan, Firli Bahuri yang sekarang sudah menjadi tersangka suap pemerasan, sejak awal pencalonan sebagai komisioner KPK diprotes oleh banyak kalangan agar tidak diloloskan karena memiliki rekam jejak pelanggaran etik. Namun faktanya tetap juga diloloskan.
"Sama juga dengan eks ketua MK, kritik publik begitu besar agar jangan lagi mencalonkan sebagai ketua MK karena ada potensi konflik kepentingan dengan presiden, tetap juga maju dan lolos terpilih yang akhirnya diberhentikan sebagai ketua MK gara-gara masalah etik oleh MKMK," kata Amir.
Untuk itu, menurut Amir Ilyas, hal yang harus diperbaiki adalah proses rekrutmen para petinggi penegak hukum. Mulai dari sumbernya yang merekrutnya maupun para calon yang akan direkrut.
"Kalau melihat lembaga-lembaga pengusul hakim MK dan komisioner KPK, yah, rata-rata bersumber dari para politikus di DPR. Ini dahulu yang harus ada perbaikan dengan memilih calon-calon pejabat politik yang berintegritas, maka kalau nanti merekrut pejabat publik (MK dan KPK) tidak lagi mendahulukan kepentingan golongan tertentu, tetapi mendahulukan kepentingan umum, terutama kepentingan penegakan hukum yang adil dan independen," sambung dia.
Sementara untuk mengembalikan citra dan marwa kedua lembaga penegak hukum itu, Amir Ilyas mengungkapkan pentingnya memperkuat dewan pengawas, dewan etik, untuk masing-masing institusi. Juga harus ada konsistensi dalam menjatuhkan sanksi terhadap oknum-oknum yang mencederai lembaga tersebut.
Media, akademisi, tokoh masyarakat juga dikatakan harus konsisten mengawal penegakan hukum. Mereka diminta bersatu menyuarakan aksi protes saat lembaga-lembaga penegak hukum tidak independen, atau saat diintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu.
"Jangan sanksi yang hanya sifatnya kompromistis alias cari aman saja. Mereka yang sudah terkena sanksi etik harus punya kesadaran etik (sense of etic), seharusnya mundur dari jabatannya, daripada bertahan kedudukannya, karena hal itu bisa menurunkan legitimasi institusi tersebut," kata dia.
"Termasuk juga sumber daya penegak hukum harus kembali dalam marwahnya, bekerja secara profesional, independen, tunjukan kinerja, maka dengan itu kepercayaan publik bisa kembali diraihnya. Keputusan atau produk hukum yang mereka keluarkan harus bernuansa keadilan dan pro kepentingan umum. Jika sudah demikian, dengan sendirinya kepercayaan publik pasti akan meningkat baik untuk MK maupun KPK," ujar Amir. (Isak Pasa'buan/C)