Demokrasi dalam Sengketa Kejujuran

  • Bagikan

Oleh: Saifuddin

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Bahwa demokrasi menjadi perbincangan dan masalah umat sejagat, semakin tak terbantahkan (baca; Francis Fukuyama, dalam The End History), sehingga sejarah pada prinsipnya tak dapat terpisah dari pergerakan sosial. Sebuah revolusi kadang tak disadari menjadi hal utama bagi pergantian suatu pemerintahan, walau itu hanya sebatas hayalan tingkat tinggi.

Tetapi, fakta di beberapa negara yang pernah ada dalam proses penggulingan kekuasaan bukan tidak mungkin itu dapat dilakukan mengingat despotisme kekuasaan yang domain dalam frame politik yang lagi-lagi mengatasnamakan demokrasi. Sementara kejahatan demokrasi semakin nampak dengan berbagai praktik politik yang melukai demokrasi sebagai ruang kejujuran rakyat.
Membincangkan mengenai politik seakan tidak ada habisnya. Berbicara mengenai politik, kita juga akan berbicara tentang sistem, rakyat, kelompok, kesejahteraan, dan tentu saja kekuasaan.

Politik ada sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan. Secara etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani; polis yang berarti kota atau negara. Kemudian berkembang menjadi polites, politeia, politika, dan politikos. Aristoteles, seorang filsuf Yunani mengatakan bahwa politik itu sendiri adalah seni untuk mencapai kekuasaan serta usaha warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Manusia sebagai zoon politicon tidak bisa menghindari politik dalam kehidupannya. Kesejahteraan dan kebaikan bersama menjadi fokus penting dalam tujuan murni politik itu sendiri. Untuk mencapai kesejahteraan dan kebaikan bersama yang diimpikan masyarakat maka dilakukan berbagai cara hingga suatu sistem pun diciptakan. Di dalam suatu negara, politik yang memengaruhi sistem pemerintahan menjadi hal yang sangat penting untuk selanjutnya digunakan sebagai pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan.

Berbicara mengenai sistem, negara Indonesia yang mengatasanamakan dirinya sebagai negara dengan sistem demokrasi ini diuji dengan dinamika yang terjadi pada tahun politik 2019, tepatnya tanggal 17 Juli lalu saat Pileg dan Pilpres dilakukan. Sebelum kita membahas lebih jauh, ada baiknya kita menilik sejenak makna demokrasi dan sejarah panjang demokrasi khususnya di Indonesia.

Demokrasi yang lahir di Athena awalnya menuai tanggapan negatif dan keraguan. Socrates seorang filsuf terkenal dari Yunani tidak menyetujui sistem demokrasi karena ia beranggapan bahwa dengan sistem demokrasi tersebut dikhawatirkan hanya orang-orang populerlah yang akan menduduki kursi pemerintahan karena banyaknya suara yang didapat yang tidak sebanding dengan kemampuan yang dimiliki untuk membela hak rakyat.

Demokrasi yang berarti bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat dalam artian dari, oleh, dan untuk rakyat adalah hal yang perlu diluruskan dalam pemahaman mengenai demokrasi. Demokrasi yang berasal dari bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan) berarti bahwa warga negara memiliki hak yang setara dalam pengambilan keputusan.

Senada dengan hal tersebut, Abraham Lincoln juga berpendapat bahwa sejatinya demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Satu hal penting berikutnya yang perlu kita ketahui mengenai demokrasi adalah sifat dari demokrasi itu sendiri.

Dinamika demokrasi di Indonesia menjadi satu pembelajaran untuk kita tentang demokrasi langsung dan perwakilan. Seperti yang kita ketahui, reformasi menjadi gerbang bagi bangsa Indonesia untuk menjalankan demokrasi sepenuhnya. Ditandai dengan adanya multipartai, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat serta pemilihan pemimpin langsung oleh rakyat menjadi contoh bahwa Indonesia menjalankan sistem demokrasi secara langsung pasca reformasi.

Walau kenyataannya, semua itu menjadi pepesan kosong, sebab demokrasi yang dipahami sebagai kebebasan justru dengan arogansi pemerintah membungkam dengan membatasi media sosial, adanya tuduhan hoaks, serta terjadinya kriminalisasi atas kelompok yang tak sependapat dengan jalan piker pemerintah. Padahal esensi demokrasi adalah terbukanya daya kritis dari rakyat. Dan, ini ciri sebuah pemerintahan yang despotik.

Bisa dikatakan demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang ‘unik’ yakni kita mencari sebuah bentuk demokrasi yang sesuai dengan tata nilai dan sistem sosial yang ada di negara ini. Pancasila sebagai landasan negara turut memengaruhi sistem demokrasi di Indonesia dimana kita kenal sebagai demokrasi Pancasila.

Demokrasi Pancasila yang menitikberatkan pada musyawarah mufakat dijalankan pada masa Orde Baru dan lebih dikenal dengan demokrasi terpimpin. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan penyelengaraan pemerintahan berdasarkan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Demokrasi pancasila terikat dengan UUD 1945 dan pelaksanaannya harus sesuai dengan UUD 1945.

Hajatan pemilihan legislatif hingga pemilihan presiden yang digelar 2019 secara langsung cukup menjadi pembelajaran menarik bagi bangsa Indonesia dalam hal demokrasi. Meskipun tak sesempurna yang diinginkan, hajatan besar demokrasi tersebut cukup menarik antusiasme dan partisipasi politik dari masyarakat.

Terlepas dari berbagai permasalahan seperti black campaign, money politics, hingga dugaan-dugaan kecurangan dalam pemungutan suara, setidaknya masyarakat dapat mencicipi hak istimewanya untuk menentukan pemimpinnya secara demokratis. Setelah hajatan tersebut selesai, publik kembali dihadapkan pada satu langkah politis yang diputuskan oleh para pemimpin yang mereka pilih.

Tapi sayang drama politik kita berhenti di sengketa di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK), itu artinya, bahwa proses politik kemarin tidak memiliki keabsahan, bisa dibilang penuh dengan kecurangan. Kita tidak tahu yang mana yang curang, atau bisa saja kedua-duanya curang. Kalau seandainya kedua-duanya curang, maka proses demokrasi kemarin itu telah menghianati suara rakyat.

Sengketa politik terjadi karena adanya indikasi kecurangan, logikanya, kecurangan berarti terjadi ketidakjujuran. Secara ekstrim bisa dibilang bahwa proses politik adalah panggung kebohongan atas rakyat. Sebab, MK seakan dianggap sebagai institusi negara yang paling berhak untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Memang aneh, sebab dagelan politik telah dipertontonkan diruang sidang MK, yang muncul adalah gaya politis-elitis, terus dimana suara rakyat? Bahkan ada pameo menyebut seperti ini, mana ada politisi yang jujur, tetapi masalahnya adalah rakyat jujur menyerahkan suaranya di bilik suara.

Dan mungkin kita bisa menyaksikan sidang sengketa di MK, pada prinsipnya bahwa sengketa politik tersebut adalah sengketa “kejujuran”, apakah semua yang terkait dengan perkara sengketa tersebut dapat berlaku jujur? Atau hanya sekedar melakukan pembelaan terhadap kebohongan biar terlihat “sedikit jujur”, atau MK menjadi runag untuk melahirkan kejujuran atas hasil Pemilu.
Dan semoga pemimpin yang dilahirkan tidak lahir dari sengketa. (*)

  • Bagikan