TAKALAR, RAKYATSULSEL - PJ Bupati Takalar Setiawan Aswad dinilai berpotensi lakukan pelanggaran hukum jika mengeluarkan SK pemberhentian Kepala Desa Cakura yang masih berstatus belum berkepastian hukum.
Terbitnya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar bernomor 12/G/2023/PTUN.MKS tertanggal 10 Juli 2023 “Menyatakan batal keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh tergugat berupa Keputusan Bupati Takalar nomor 619 Tahun 2022 tentang Pengesahan/Pengangkatan Kepala Desa Cakura Kecamatan Polongbangkeng Selatan atas nama Saharuddin, S.Pd., M.Pd., tanggal 15 Desember 2022,” bunyi putusan tersebut.
Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Ketua Umum PP LIDMI, Dr. (cand) Asrullah, S. H., M.H mengatakan Pj Bupati Takalar berpotensi melakukan perbuatan melawan hukum jika menerbitkan SK Plt Kepala Desa Cakura berdasarkan keputusan pengadilan yang belum berkepastian hukum.
“Jika dipaksakan mengeluarkan SK untuk menindaklanjuti putusan sebelum keluar putusan PK maka Pj Bupati mencederai prinsip-prinsip dasar negara hukum, administrasi pemerintahan, melanggar asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dan moral pejabat publik yang non diskriminatif,” kata Asrullah pada awak media, Kamis (11/01/2023).
Menurutnya, krisis legitimasi hukum SK Pj Bupati Takalar jika diterbitkan setidaknya terjadi berdasar pada tiga argumentasi fundamental.
Asrullah menerangkan, argumen pertama putusan yang berkekuatan hukum tetap atau inkracht gewijsde adalah upaya putusan final yang dimaknai tidak ada lagi putusan hukum setelah itu, atau secara teoritis menurut Bagir Manan the last legal escape.
“Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar bernomor 12/G/2023/PTUN.MKS tertanggal 10 Juli 2023 yang mengabulkan pembatalan SK Bupati Takalar tentang Pengangkatan Kepala Desa Cakura, Polongbangkeng Selatan, itu belumlah berstatus kekuatan hukum yang tetap. Sekalipun pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan kasasi telah memutuskan perkara a quo, tetapi hal tersebut tidaklah secara mutatis-mutandis (serta merta) mengubah sifat hukum putusan pengadilan tersebut sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap,” ujarnya.
Ia mengutip UU No. 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap dimaknai sebagai satu putusan yang semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan atau tidak dipergunakan karena waktunya lewat atau kadaluwarsa. Hal inilah yang dikualifisir sebagai tafsir otentikl tentang putusan kekuatan hukum yang tetap.
“Dengan mengajukannya peninjauan kembali (PK) Saharuddin, S.Pd.,M.Pd sebagai tergugat II intervensi di Mahkamah Agung sekaligus sebagai Kepala Desa Cakura penjabat terhadap putusan tersebut, maka putusan hukum sebelumnya baik ditingkat pengadilan negeri TUN, banding, maupun kasasi belum berkekuatan hukum tetap dan masih dalam proses memperjuangkan kepastian hukum dan keadilan sampai putusan PK dikeluarkan oleh Mahkamah Agung,” terangnya.
Menurut Asrullah, hal ini senada dengan filosofi instrumen peninjauan kembali (PK) yang dimuat dalam amar putusan MK No. 34/PUU/XI/2013 bahwa PK secara historis dan filosofis merupakan upaya hukum yang lahir dan disediakan demi melindungi kepentingan hukum dan Hak asasi manusia penggugat. Atau dalam pemaknaan Mahkamh Agung dan UU MA disebut sebagai penemuan keadilan dan kebenaran materil.
Ia memaparkan argumen kedua, yaitu putusan berkekuatan hukum tetap haruslah mengandung kepastian hukum yang berkeadilan. Sebab seluruh instrumen upaya hukum dianggap telah dilalui dan dilewati sebagai prosedur yang disediakan oleh negara.
“Oleh karena itu, dengan diajukannya upaya hukum PK oleh Saharuddin sebagai tergugat II intervensi di MA, maka upaya hukum belum selesai dan masih berjalan sebagai jalan untuk mencari kebenaran materil serta perlindungan HAM dari kesewenangan negara secara vertikal maupun penggembosan HAM secara horizontal sesama civil society yang menyangkut status fundamental bagi diri yang bersangkutan,” papar Asrullah.
Ia melanjutkan bahwa hal ini akan berimplikasi terhadap sifat putusan sebelumnya yang belum berkekuatan hukum tetap untuk dieksekusi dan dijalankan oleh pemerintah daerah dalam hal ini Bupati atau Pj Bupati dalam bentuk tindakan administrasi faktual karena masih menunggu Putusan PK di MA, atau secara teoritis disebut sebagai Putusan yang tidak dapat dijalankan (Non Executable Decision).
Asrullah juga menambahkan argumen ketiga ialah keputusan hukum yang tetap seharusnya tidak memuat lagi preferensi hukum yang memungkinan hadirnya suatu pengingkaran (disavowal), pembatal (Invalidation), ataupun pemulihan norma (Norm remedy).
“Upaya PK sebagai upaya hukum terakhir atau upaya hukum luar biasa (extra ordinary legal review) adalah upaya hukum yang mampu membatalkan, mengubah atau mengoreksi putusan sebelumnya yang telah dikeluarkan pada level tingkat pertama, banding dan kasasi. Sehingga hal tersebut menunjukkan sifat dan status hukum masih sangat bergantung pada putusan PK di MA,” ucapnya.
Ia menilai bahwa putusan PK-lah sebagai upaya hukum terakhir yang dimiliki setiap warga negara yang disediakan dan dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Sehingga demi hukum, keadilan dan etika penyelenggaraan pemerintahan wajib menunggu putusan PK sebelum mengambil langkah hukum lanjutan. Karena ini berkenaan dengan status seseorang yang menyangkut hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang dijamin oleh konstitusi,” pungkasnya. (*)