Oleh: Saifuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Hajatan demokrasi sebagai momentum proses politik yang dinamis berdimensi jujur, adil, bersih adalah menjadi harapan semua orang untuk melahirkan pemimpin dari proses yang bersih pula. Tetapi faktanya seringkali terjadi sebaliknya. Fenomena ini bisa disebut sebagai anomali dalam politik.
Dan, faktor penyebab dari itu salah satu diantaranya adalah munculnya sesuatu yang tak lazim dalam politik, seperti adanya privilege (keistimewaan) terhadap seseorang untuk mengambil peran atau posisi yang tidak mustinya.
Pemberian keistimewaan ini sesungguhnya adalah bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai pada sebuah proses regenerasi dalam suatu jabatan tertentu. Seperti pelanggaran etik dalam satu lembaga negara untuk memberikan ruang besar terhadap seseorang yang belum memiliki kepantasan, namun semua itu dilanggar karena kekuasaan.
Tragedi putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka (wali kota Solo) yang juga anak Presiden Jokowi, memunculkan banyak spekulasi dan polemik yang terus berkembang. Tudingan demi tudingan mengarah ke istana yang dianggap terlibat dalam persekongkolan politik untuk meloloskan ambang batas umur cawapres, yang kebetulan juga ketua MK adalah ipar dari seorang presiden, dan yang diloloskan kebetulan adalah keponakan dari Anwar Usman sebagai ketua MK saat itu. Semua itu memunculkan kegaduhan di ruang publik.
Hingga pada waktunya ketua MK melalui MKMK (Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi) memutuskan bahwa ada pelanggaran etik dalam putusan tersebut sehingga memecat Anwar Usman sebagai ketua MK. Peristiwa ini pada akhirnya memunculkan berbagai tafsiran dan alibi di ruang publik.
Apakah putusan MK tersebut membatalkan pencalonan Gibran? Ternyata tidak! Proses politik pun terus dilanjutkan hingga KPU menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto. KPU sebagai wasit dalam proses kepemiluan ini tentu diharapkan berlaku adil, jujur agar melahirkan proses demokrasi yang bersih dan bermartabat.
Tetapi beberapa hari terakhir DKPP menemukan pelanggaran etik yang dilakukan oleh KPU terkait pendaftaran Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto dengan asumsi hukum bahwa belum berubahnya undang-undang yang akan menyesuaikan putusan MK. Sehingga bisa diambil kesimpulan sementara bahwa pencalonan Gibran “cacat hukum” dan ketua MK dan Ketua KPU menjadi tumbal politiknya.
Selain itu, pidato-pidato Jokowi sebagai presiden di berbagai tempat tentang netralitas, ternyata dibantahnya sendiri dengan menyatakan bahwa presiden bisa memihak dan berkampanye. Dan, di istana Jokowi memperlihatkan undang-undang yang membolehkan presiden memihak dan berkampanye.
Cawe-cawe Jokowi dari awal telah mengindikasikan kalau netralitas yang disampaikan Jokowi itu adalah pernyataan bersayap. Sehingga ada seorang politisi dari PDIP Adian Napitupulu dalam satu sesi diskusi bersama Najwa Shihab menyebutkan “kalau dulu Jokowi berbohong kita masih anggap sebagai kebenaran, tetapi sekarang sekalipun Jokowi menyampaikan sebuah kebenaran tetap kita anggap sebagai kebohongan”.
Kalimat ini tentu mengandung jejak digital bagi seorang Jokowi, dimana ia ucapkan dan dimana ia bantah.
Netralitas. Demikian pertanyaan sarkas dari publik. Apa benar Jokowi akan berpihak dengan mempertimbangkan kalau ada anaknya berkontestasi di pilpres 2024, tentu sangat absurd? Politik nepotisme inilah yang kemudian memunculkan berbagai sentimen.
Adanya aparat yang tidak netral, kepala desa yang dikerahkan, belum lagi keterlibatan secara langsung Presiden Jokowi bagi-bagi Bansos kepada masyarakat. Fenomena ini kemudian memunculkan protes bukan hanya dari rivalitas politik dari Gibran tetapi dari elemen masyarakat, seperti kelompok mahasiswa, LSm dan beberapa media.
Politik pengkondisian dari Jokowi dengan “politik sandera” yang kemudian men-drive beberapa ketua-ketua partai politik yang terindikasi bermasalah secara hukum, bahkan ada beberapa kepala daerah yang juga tersandera sehingga mau atau tidak harus mendukung paslon tertentu atas titah istana.
Wacana beberapa menteri akan mundur, pada akhirnya hanya Mahfud MD mundur dengan alasan untuk mencegah konflik interest, walau sedikit telat tetapi paling tidak bisa memberikan edukasi politik bagi yang lainnya.
Fenomena politik sandera ini tentu memberangus kebebasan individu dalam menentukan sikap politiknya. Ibarat pembantu mereka akan harus taat dan patuh pada majikannya. Disini kita sisipkan pesan Ibnu Khaldun ; “Kalau ketakutan mengalahkan kesadaranmu, maka kesadaran pun memiliki hak untuk mendiamkan kezaliman”
Kalimat Ibnu Khaldun ini dapat disematkan kepada para mereka yang memiliki kesadaran dan kewarasan (dalam hal ini menteri-menteri) tetapi mereka tersandera oleh kasus hukum yang cenderung menghantui. Dan dari sinilah kesadaran dan kewarasan itu mati.
Petisi Guru Besar adalah alarm.
Makna petisi adalah pernyataan yang disampaikan kepada pemerintah untuk dilakukan, dan itu adalah bentuk koreksi. Demokrasi adalah publik space (ruang publik) yang memungkinkan terbukanya dialektika, diskursus serta perspektif yang berbeda.
Dalam dialektika Marx kita mengenal kalimat indah dari seorang Marx ; “Realitas sosial lah yang akan membentuk kesadaran sosial, bukan sebaliknya”. Revolusi Bolshevik 25 Oktober 1917 meletus akibat adanya protes dari kelompok sosialis radikal. Kelompok ini beranggapan bahwa pemerintahan Alexander Kerensky dianggap lambat mewujudkan cita-cita rakyat Rusia termasuk adanya intervensi politik dalam negara.
Merespons hal tersebut maka kaum kiri yang berhaluan radikal terus melancarkan kritik dan protes kepada pemerintah. Kelompok kampus bergerak dengan kaum civil society dengan move politik termasuk petisi demi petisi dibacakan di ruang publik sebagai bagian dari membentuk kesadaran politik publik.
Dan, sejarah politik Indonesia juga mengalami hal yang sama dari fase ke fase. Petisi itu tidak lahir begitu saja tetapi tentu ada asumsi dasar yang melatarbelakanginya. Petisi yang lahir dari kampus melalui para Guru Besar adalah cerminan keresahan serta ephostheisme (kegelisahan sosial) yang dialami kampus selama ini yang dianggap sebagai hanya tempat kuliah dan proses belajar mengajar. Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian pada masyarakat) sebagai vitalitas perguruan tinggi atau kampus dalam memproduksi manusia unggul.
Kalau kita melihat jejak sejarah gerakan mahasiswa terutama dalam pengenalan jati diri, identitas, tugas, fungsi mahasiswa adalah bagian dari edukasi yang luas bahwa mahasiswa bukan sekedar mereka yang terdaftar di perguruan tinggi dan mengikuti proses belajar dalam semester berjalan. tetapi lebih luas dari itu mahasiswa adalah mereka yang ber-identitas ideologis, kritis, analisis, inovatif dan kreatif.
Sebagai fungsi sosialnya mereka adalah the moral forces artinya mereka memliki fungsi dan tujuan menyebarluaskan ilmu pengetahuan mereka di tengah masyarakat. Disamping itu rasa empati (kepedulian) sosial juga mereka bangun dengan cara berinteraksi dengan berbagai elemen dan kluster masyarakat di sekitarnya.
Di samping the moral forces, juga mereka harus tampil sebagai the political forces yang bertujuan menjadi agent of change, agent social control, agent of modernize and development. Maka ketika ada kritikan yang berbasis mimbar akademik itulah the political forces.
Dan, petisi Guru Besar dari berbagai perguruan tinggi menjelang Pemilu 2024 adalah peringatan (alarm) bagi Jokowi yang telah bertindak menggunakan kekuasaan sebagai alat politik (abuse of power). Penyalahgunaan kekuasaan inilah yang sangat mengkhawatirkan masa depan demokrasi---sehingga Guru Besar sebagai penjaga peradaban ilmu pengetahuan bersuara sebagai bentuk rasa keprihatinan terhadap situasi demokrasi saat ini.
Kampus bukan menara gading, tetapi fungsi kampus salah satu diantaranya adalah mimbar akademik. Mimbar akademik itu adalah salah satu soko guru berdirinya perguruan tinggi di dunia. Jadi tidak heran kalau kemudian kampus bersuara dari “kegelapan kekuasaan”.
Salah satu filsuf dari Mazhab Frankfurt Michel Foucault ; “kekuasaan itu adalah penderitaan, bagi siapa saja yang mau berkuasa, maka bersiaplah untuk menderita” Bagi Foucault para politis memahami kekuasaan maka mereka harus masuk di dalamnya. Tetapi berbeda denganku ; dengan tulisan, kekumuhan, seni, mozaik, cerutu dan sex adalah caraku memahami kekuasaan. Maka kekuasaan harus dipahami bukan hanya dari dalam tetapi kekuasaan juga harus di baca dari luar supaya ada pengetahuan komprehensif tentang kekuasaan.
Petisi itu adalah sikap politik sekaligus kontrol atas kekuasaan yang mulai menyimpang. Samuel P Huntington (futurolog) dalam bukunya “Gelombang Demokratisasi Ketiga” menyebutkan ada 4 tiang penyanggah demokrasi dalam sebuah negara. Yakni Parlemen, Media, NGO, Civil Society. Kampus adalah kaum civil society yang terdidik. Di beberapa negara demokrasinya tumbuh dengan baik karena saluran politiknya terbuka tidak tersumbat dengan despotisme kekuasaan.
Perilaku politik Jokowi semakin memperlihatkan gaya despotisme—yakni perilaku tunggal dalam melakoni pemerintahan dan itu terlihat bagai-bagi bansos depan istana dan beberapa tempat. Kewibawaan pemerintah terkesan jatuh walau dianggap sebagai perilaku populis.
Perilaku inilah yang kemudian memunculkan rasa keprihatinan dan ke kekhawatiran yang mendalam, apakah demokrasi akan lebih baik?, tetapi faktanya demokrasi kita dalam ancaman perusakan.
Karena itu, Reformasi 98 dimulai dari gerakan kampus, apakah ini kemudian pertanda bahwa peristiwa 98 akan muncul?, semua masih dalam tahap mengamati apakah pemilu ini berjalan jujur dan adil, walau modus kecurangan telah dimulai dari awal secara kasat mata. Dan, ini boleh jadi sebagai “Obituari Demokrasi” yakni pengumuman kematian demokrasi. (*)