Prediksi tersebut menunjukkan bahwa ketinggian hilal di Indonesia saat Matahari terbenam pada 10 Maret berkisar antara 0,33 derajat di Jayapura, Papua, sampai dengan 0,87 derajat di Tua Pejat, Sumatra Barat. Sementara itu, pada 11 Maret, ketinggian hilal di Indonesia saat Matahari terbenam berkisar antara 10,75 derajat di Merauke, Papua, sampai dengan 13,62 derajat di Sabang, Aceh.
Kondisi ini membuka kemungkinan adanya perbedaan penetapan awal Ramadhan 1445 Hijriah di Indonesia. Sebelumnya, Muhammadiyah telah menetapkan 1 Ramadhan 1445 H pada Senin, 11 Maret, berdasarkan hisab hakiki wujudul hilal.
Sementara itu, Kementerian Agama dan Nahdlatul Ulama menggunakan kriteria Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) sebagai penentu awal bulan hijriah, termasuk Ramadhan. Patokan utama masuk bulan baru hijriah adalah hilal punya ketinggian 3 derajat dan elongasi atau jarak sudut Bulan-Matahari 6,4 derajat.
Pengukuran terhadap kondisi hilal ini bisa dilakukan jauh-jauh hari berdasarkan hitungan astronomi. Namun, Kemenag memverifikasinya lewat pengamatan di lapangan sehari sebelum tanggal yang diduga kuat sebagai awal Ramadhan dan mengesahkannya dalam Sidang Isbat. Ini menunjukkan bahwa proses penetapan awal puasa di Indonesia melibatkan berbagai pihak dan metode, yang dapat menghasilkan perbedaan dalam penetapan awal puasa antar kelompok agama.