MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Hasil rekapitulasi suara dari Komisi Pemilihan Umum Sulawesi Selatan menetapkan hanya 21 orang perempuan berhasil meraih suara terbanyak dan mendapat kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Selatan.
Dengan begitu, harapan banyak pihak agar kalangan perempuan yang terpilih bisa mencapai minimal 30 persen, belum terpenuhi pada pemilu kali ini.
Jumlah perempuan yang terpilih untuk periode mendatang pun mengalami penurunan. Hasil Pemilu 2019, jumlah srikandi yang menduduki kursi legislatif sebanyak 25 orang atau hanya 29 persen dari total 85 legislator Sulsel.
Dari data dihimpun Harian Rakyat Sulsel menunjukkan tidak semua daerah pemilihan se-Sulsel memiliki perwakilan perempuan yang lolos ke DPRD, karena sengitnya persaingan. Misalnya di Dapil Sulsel VIII tak ada satu pun perempuan lolos. Sedangkan dapil lainya hanya ada perwakilan satu perempuan.
Aktivis dan pemerhati perempuan Sulsel, Rosniaty Azis mengatakan partai politik seharusnya bertanggung jawab dalam hal kaderisasi dan rekrutmen terhadap perempuan untuk berpolitik. Menurut dia, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah mengatur syarat bahwa parpol menjadi peserta pemilu salah satunya adalah menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.
"Kendati partai-partai politik sudah memenuhi ketentuan 30 persen caleg perempuan, tetapi yang lolos ke parlemen masih jauh di bawah 30 persen. Tentu ini hampir maksimal karena adanya keterwakilan," ujar dia.
Dia mengatakan, adanya 21 orang yang terpilih setidaknya bisa membuktikan bahwa gerakan perempuan di ranah politik semakin maju dalam menyikapi setiap masalah di daerah masing-masing. Rosniaty mengatakan, keberadaan legislator perempuan di setiap partai politik seharusnya tak sekadar pelengkap untuk memenuhi syarat sebagai peserta pemilihan umum.
"Tapi, bagaimana peran aktif dalam mengambil kebijakan," imbuh dia.
Ketua DPRD Sulsel, Andi Ina Kartika Sari mengapresiasi keterlibatan perempuan untuk tampil di berbagai kontestasi politik. "Alhamdulillah, sekarang kemajuan perempuan luar biasa. Selalu tampil di segala bidang, baik pileg dan pilkada serta kontentasi lainnya," ujar Andi Ina.
Politisi Golkar itu mengatakan, peran besar perempuan di dunia perpolitikan tidak lepas dari regulasi keterwakilan 30 persen perempuan partai politik untuk mengikuti Pemilu. Di sisi lain, kata dia, jumlah pemilih perempuan yang hampir melampaui laki-laki. Otomatis kehadiran figur perempuan bisa saja dianggap menjadi wadah keterwakilan atas aspirasinya di parlemen.
Dalam kancah politik Indonesia, termasuk pada tingkatan daerah isu keterwakilan perempuan dalam kursi legislatif atau DPR terus menjadi sorotan. Meskipun telah ada kuota 30 persen untuk keterlibatan perempuan dalam proses politik tersebut, namun kenyataannya masih jauh dari harapan.
Sementara itu, akademis dari Departemen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Endang Sari mengungkap, ada beberapa permasalahan yang jadi faktor tidak tercapainya kuota 30 perempuan dalam kursi parlemen.
Menurut dia, meskipun ada regulasi yang mengamanatkan kuota 30 persen, tapi dalam praktiknya perempuan tetap harus berkompetisi atau bertarung secara bebas dengan peserta laki-laki dalam pemilihan langsung. Dengan begitu, tidak ada hasil atau jaminan bahwa perempuan akan terpilih meskipun telah diikutsertakan dalam pencalonan.
"Jadi walaupun memang sudah ada regulasi bahwa DCT yang diusulkan setiap peserta pemilu dalam hal ini partai politik harus mengikutsertakan minimal 30 persen kuota perempuan, tetapi dalam pelaksanaannya atau pemilu yang terjadi adalah perempuan harus merasakan tarung yang sama dengan peserta laki-laki, tidak ada keistimewaan bagi perempuan dalam arena pemilihan langsung," kata Endang.
Menurut dia, tidak ada jaminan bahwa walaupun kuota 30 persen pencalonan itu sudah mengikut sertakan perempuan, tapi tidak ada jaminan mereka akan terpilih. Endang mengatakan, sistem pemilihan yang diambil adalah yang menyebabkan perempuan harus melakukan tarung bebas pada kontestasi pemilihan legislatif.
Endang juga menyebut, kuota 30 persen perempuan itu sering dianggap sebagai solusi meskipun tanpa adanya komitmen yang jelas dalam akselerasi keterwakilan perempuan. Sistem pemilihan langsung yang diadopsi Indonesia dinilai belum sepenuhnya mengistimewakan perempuan.
Dia menyoroti dalam pemilu ada tiga tahapan yang juga bisa membuat perempuan terpinggirkan saat ikut berkontestasi. Pertama adalah harus dikenal, kemudian disukai dan yang terakhir ada dipilih.
Pada tahap pertama itu, Endang mengatakan, mereka yang terkenal dan punya nama biasanya mereka yang sudah memiliki kuasa atau basis massa di wilayah pemilihnya, termasuk para publik figur, seperti artis atau seleb media sosial.
"Di fase ini perempuan sudah terdegradasi, perempuan sudah terpinggirkan bagi kontestasi lain, siapa paling terkenal," imbuh dia.
Fase kedua, lanjut eks komisioner KPU Makassar itu, untuk disukai pemilih saat ini salah satu faktornya adalah kepemilikan modal, mengingat politik uang bukan lagi rahasia umum di kalangan masyarakat. Sehingga keterlibatan modal dalam proses pemilihan lagi-lagi memberi keunggulan atau peluang besar bagi laki-laki untuk menang.
"Kemudian ketiga, di sinilah perempuan banyak gagal walaupun dia kader partai yang mumpuni, tapi akhirnya harus terpinggirkan karena kencangnya dan kerasnya kontestasi. Sistem ini begitu terbuka bagi mereka yang punya modal, punya kuasa, mereka yang punya kemampuan untuk menyenangkan hati rakyat bukan lewat program tapi pemberian instan yang ibaratnya jelang hari pemilih," ujar dia.
Dia mengatakan, dilematisnya dilematisnya sistem pemilu saat ini sehingga komitmen perjuangan kuota 30 persen yang sejak dulu jadi perjuangan gerakan perempuan itu tidak dirasakan efeknya. Penyebabnya, sistem yang digunakan adalah pemilihan langsung yang menyebabkan perempuan tidak ada jaminan terpilih seperti fakta hari ini.
Dengan begitu, lanjut Endang, untuk mengatasi masalah ini dia menawarkan intervensi dalam regulasi sistem pemilu. Misalnya, memaksa setiap partai politik untuk memasukkan minimal 30 persen perempuan dalam DCT dan kepengurusan partainya. Selain itu, memprioritaskan posisi perempuan dalam alokasi kursi parlemen juga menjadi langkah penting.
Keterwakilan perempuan di parlemen dinilai sangat penting karena mereka dapat menjadi suara bagi aspirasi dan kebutuhan perempuan dalam masyarakat. Dengan adanya perwakilan yang lebih banyak, isu-isu seperti perlindungan terhadap kekerasan seksual, perlindungan tenaga kerja perempuan, hingga kesehatan reproduksi dapat lebih diperjuangkan.
Dengan upaya kolaboratif antara pemerintah, partai politik, dan masyarakat, diharapkan keterwakilan perempuan dalam sistem politik dapat meningkat secara signifikan. Hal ini tidak hanya penting untuk mencapai kesetaraan gender, tetapi juga untuk memastikan bahwa aspirasi dan kebutuhan perempuan diwakili dengan baik di tingkat legislatif.
"Misalnya kalau kita bisa memaksakan setiap peserta pemilu harus menyertakan 30 persen kuota perempuan pada DCTnya dan kepengurusan partai politiknya, maka dalam keterpilihannya misalkan ketika satu partai mendapatkan kursi maka dia juga harus memprioritaskan posisi itu. Jadi kita bisa intervensi misalnya ada tiga kursi yang di dapat oleh satu partai, maka minimal satu kursi itu diisi oleh perempuan, kan itu bisa diintervensi sebenarnya lewat regulasi jika berkomitmen antara niatan baik kuota 30 persen ini dengan regulasi yang ada," ucap Endang. (suryadi-isak pasa'buan/C)