Oleh: Ema Husain Sofyan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Masa muda adalah masa untuk terus senantiasa mencoba hal-hal yang baru, dalam rangka menemukan jati diri. Mereka itu adalah kaum milenial atau disebut juga generasi Y. mereka dilahirkan sekitar tahun 1980 hingga 1995 pada saat teknologi sudah maju.
Adapun generasi Z adalah generasi yang lahir dari tahun 1997 sampai tahun 2000-an, dan merupakan generasi yang masih muda dan tidak pernah mengenal kehidupan tanpa teknologi. Kedua generasi inilah kelak yang akan menjadikan Indonesia memiliki bonus demografi.
Bonus demografi itu apabila penduduk usia produktif yaitu kisaran usia 15 sampai 64 tahun, jumlahnya lebih banyak dibanding usia nonproduktif atau kisaran usia 65 tahun ke atas. Dengan proporsi usia produktif sekitar 60 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
Dengan modal demografi tersebut, bisa menjadi peluang yang strategis untuk melakukan berbagai macam inovasi dalam memajukan negara. Namun disisi lain bonus demografi bisa menjadi beban tersendiri. Yang pada akhirnya mengancam Indonesia sebagai negara. Semisal angkatan kerja yang tidak memiliki lapangan pekerjaan dan pada akhirnya menimbulkan angka pengangguran. Hingga yang terjadi adalah menurunnya kualitas sumber daya manusia.
Untuk itu pendidikan menjadi keniscayaan. Dengan pendidikan akan terjadi proses untuk membentuk manusia yang tidak saja cerdas, namun mampu berpikir secara saintifik dan filosofis tapi juga mampu mengembangkan spiritualnya. Dalam kondisi yang demikian maka tenaga pengajar atau guru mesti menjadi prioritas dari pemerintah kita.
Untuk mencapai generasi emas Indonesia maka diperlukan peningkatan mutu dari pendidikan itu sendiri seperti, anggaran yang mencukupi, manajemen pengelolaan, pemberdayaan guru dan terpenting Pendidikan melatih kesadaran kritis.
Perhelatan Pilkada serentak nasional 2024 mendatang adalah momentum untuk memilih anak bangsa (Kepala Daerah) yang mampu menjawab tantangan dan peluang bonus demografi yang diperkirakan mulai pada tahun 2030 hingga 2040. Tentu saja pondasi dan keberlanjutannya sudah ditentukan oleh siapa pemimpin atau presiden terpilih.
Investasi besar-besaran dalam bidang pendidikan menjadi perhatian serius, agar kesenjangan pendidikan tidak lagi kita temui di daerah pelosok.
Tentu saja idealnya calon Kepala Daerah harus berdasarkan kualifikasi visi dan misi yang sudah terbukti dan berdasarkan rekam jejak sang calon. Kandidat-kandidat yang sudah meramaikan bursa pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar seharusnya memiliki konsep soal Pendidikan.
Tentu saja kita tidak ingin peluang angkatan kerja itu menjadi sirna dengan salah mengelola pemerintahan akibat pemimpin yang tidak mampu mengelola aset tersebut. (*)