Arogansi Personal

  • Bagikan
Darussalam Syamsuddin

Oleh: Darussalam Syamsuddin

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Perjalanan seseorang menuju Tuhan sering digambarkan sebagai sebuah perjalanan yang panjang dan berliku. Penuh dengan tantangan dan cobaan. Tidak ada penghalang yang paling besar yang menutupi jalan menuju Tuhan, selain hawa nafsu.

Hawa nafsu artinya keinginan-keinginan diri. Nafsu diterjemahkan sebagai egoisme, yakni kecenderungan untuk mencapai keinginan-keinginan diri.

Keinginan untuk mencapai kenikmatan sensual, kesenangan jasmaniah, keinginan untuk makan dan minum, pakaian baru dan rumah mewah, bersenang-senang, keinginan untuk diperhatikan, diistimewakan, dan dianggap sebagai orang yang paling penting, lazim disebut dengan kepongahan atau arogansi. Semuanya termasuk dan bersumber dari hawa nafsu.

Para pejalan spiritual dalam hal ini dikenal dengan sebutan sufi menegaskan bahwa, Tuhan tidak dapat didekati bila hawa nafsu kita masih berdiri kokoh seperti gunung yang tegak. Seseorang hanya bisa mendekati Tuhan dengan menaklukkan hawa nafsu atau egoismenya.

Ketika Alquran bercerita tentang orang-orang yang meninggalkan rumahnya untuk berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya pada QS. An-Nisa’/4:100. Para sufi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan rumah itu adalah hawa nafsunya.

Pada diri setiap orang ditemukan beberapa kekuatan yang selalu mendorong kita untuk melakukan sesuatu. Para sufi menyebutnya dengan kekuatan-kekuatan hawa nafsu. Ada tiga kekuatan hawa nafsu dalam diri setiap orang.

Pertama, disebut quwwatun bahimiyyah atau kekuatan kebinatangan. Dalam diri setiap orang ada unsur-unsur kebinatangan. Unsur inilah yang mendorong kita untuk mengejar kepuasan lahiriah berupa kepuasan sensual.

Kedua, disebut quwwatun sab’iyyah atau kekuatan binatang buas. Pada diri setiap orang bermukim kekuatan binatang buas. Misalnya: senang menyerang orang lain, suka memakan hak orang lain, ingin membenci, menghancurkan, atau mendengki orang lain, gemar melanggar atau menabrak aturan yang ada, senang melihat orang lain susah, dan susah melihat orang lain senang, dan berbagai kekuatan jahat lainnya yang menimbulkan keresahan hingga malapetaka bagi orang lain.

Ketiga, disebut quwwatun syaithaniyyah. Inilah kekuatan yang mendorong seseorang untuk membenarkan segala kejahatan yang kita lakukan. Jika kita mengambil hak orang lain, setan membisikkan kepada kita untuk tidak usah merasa bersalah karena kita mengambil hak orang lain untuk membantu saudara-saudara kita.

Kalau melakukan korupsi, misalnya, kemudian kita memberikan infak untuk meredakan rasa bersalah dalam hati kita, setan kemudian membisikkan kepada kita bahwa hal itu dilakukan tidak lain untuk membatu orang lain juga. Ketiga kekuatan ini bersumber dari hawa nafsu.

Realitas dalam kehidupan sehari-hari, semua orang ingin membahagiakan keluarganya tanpa kecuali siapa pun dia. Seorang mahasiswa belajar dengan sungguh-sungguh agar meraih sarjana untuk membahagiakan diri dan keluarganya. Nelayan yang mengarungi samudera tidak gentar menghadapi badai dan gelombang ombak, demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Petani yang tidak peduli hujan dan terik matahari yang membakar kulitnya, hanya untuk menutupi kebutuhan hidup anak dan istrinya.

Bahkan seorang buruh harian rela meninggalkan kampung halaman dan keluarganya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Keringat dan air mata bercampur karena kerasnya kehidupan, semua dijalani demi memperoleh penghasilan untuk keluarga yang dicintai.

Perjuangan dan jerih payah yang tak kenal lelah sirna ketika menyodorkan kepingan demi kepingan uang yang disimpan disodorkan kepada istrinya, namun istrinya menepis pemberian suaminya itu karena terlalu kecil untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sembari berteriak histeris meminta cerai. Hal ini disebabkan oleh kekuatan hawa nafsu.

Selain dari ke tiga kekuatan tersebut, Tuhan juga menyimpan dalam diri setiap orang satu kekuatan yang bersumber dari percikan cahaya Tuhan. Inilah yang disebut dengan quwwatun rabbaniyyah atau kekuatan Tuhan.

Kekuatan ini terletak pada akal sehat kita. Bila keinginan untuk mengejar hawa nafsu yang menguasai diri kita, secara ruhaniah kita seperti binatang. Meskipun secara jasmaniah kita menampakkan diri sebagai manusia. (*)

  • Bagikan