Oleh: Acram Mappaona Azis
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Wacana kolom kosong di pemilihan gubernur Sulawesi Selatan mulai menuai kontroversi. Pihak yang sudah bekerja keras mendapatkan persentase elektoral mulai frustasi dan menebar tuduhan kepada partai politik. Salah satunya adalah tuduhan beli/rental partai politik. Ini tentu menjadi tuduhan yang serius dan harus dibuktikan, karena merupakan tindak pidana.
Tidak puas dengan menuduh partai politik, istilah oligarki kemudian ditarik sebagai subjek penderita. Padahal, untuk maju sebagai bakal calon, tersedia jalur independen yang lebih efektif dan efisien. Sayang, masa waktu untuk itu telah berlalu.
Setelah beredar berita bahwa hampir seluruh partai politik peraih kursi di DPRD Sulsel diborong salah satu pihak, kolom kosong mulai diperdebatkan. Sentimen negatif terhadap kolom kosong ditujukan kepada pihak yang dianggap melakukan belanja kendaraan politik, dengan memborong habis kendaraan, sehingga tidak ada lawan dalam perlehatan Pilgub Sulsel nanti. Hal ini tentu keliru, karena pasangan calon tunggal akan diperhadapkan dengan kolom kosong, sebagai pengujian demokrasi terhadap dukungan warga masyarakat.
Psikologi politik pasca Pemilu 2024, secara kolektif mengalami degradasi. Kelelahan pekerja politik di Pilpres dan Pileg, serta keterbatasan sumber pembiayaan politik, menjadikan Pilkada Serentak 2024 terlihat datar, kecuali untuk pemilihan gubernur. Demikian halnya dengan faktor efek pembelahan ideologis, antara nasionalis dan Islam sejak 2017, yang masih menyisakan sedikit goresan. Rekonsiliasi nasional dengan masuknya Prabowo Subianto dalam kabinet Jokowi, menimbulkan faksi-faksi politik berbasiskan pragmatisme versus ideologi.
Dalam kontestasi lokal, yang masih menggantungkan harapan pada daulat sentralisasi partai politik, telah menggerakkan politisi lokal untuk berburu dukungan partai politik. Di saat yang bersamaan, partai politik membutuhkan kemenangan untuk memastikan kegiatan partai dapat terakomodasi selama lima tahun ke depan.
Setidaknya biaya yang dikeluarkan selama Pemilu 2024 bisa kembali dari retribusi yang harus dibayarkan calon kepala daerah, sejak pendaftaran sampai masa pemilihan nanti. Komponen retribusi untuk survei, saksi partai, menggerakkan kader partai, sampai mempersiapkan kemungkinan sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi nanti.
Dengan kondisi objektif tersebut, para calon kepala daerah akan berhitung lebih cermat, untuk merumuskan strategi pemenangan. Ikut bertarung dengan menggantungkan pemenangan pada mesin partai politik atau membuang handuk dengan menuduh lawan melakukan praktik monopoli dukungan. Karena politik harus memberikan alasan untuk setiap keputusan dan itu harus ditujukan kepada lawan politik.
Wacana kotak kosong tidak membahas substansi tersebut, karena dipengaruhi pragmatisme publik yang sudah dibiasakan dengan event politik yang diidentikkan dengan uang partisipasi politik. Publik terlanjur mempersepsikan prosesi demokrasi sebagai ajang bagi-bagi uang dari para konstestan.
Bagaimana jika kolom kosong terjadi di Pilgub Sulsel? Apakah peluang menang kolom kosong sama dengan Pilwakot Makassar beberapa tahun lalu?
Secara hukum, bila kolom kosong menang, maka tidak ada gubernur sampai dengan pemilihan berikutnya, yang berarti gubernur Sulsel sampai dengan 2029 akan diisi oleh penjabat gubernur yang ditunjuk oleh Presiden. Lain halnya sebelumnya, dimana Pilkada tidak dilaksanakan serentak, sehingga dilaksanakan pada periode berikutnya. Untuk 2024, maka dilaksanakan pada tahun 2029.
Dengan kondisi tersebut, penggerak kolom kosong akan memperhitungkan, waktu tenaga dan biaya untuk melakukan perlawanan. Sekalipun kolom kosong pemenangnya, harus menunggu waktu lima tahun untuk prosesi pemilihan. Waktu tunggu yang cukup lama, untuk memastikan bisa kembali bertarung.
Selanjutnya dari sisi pelawan kolom kosong, tentu akan memaksimalkan partisipasi dan perolehan suara. Meskipun visi misi tidak akan beradu argumen dengan kolom kosong, namun tetap harus lebih menarik untuk mendorong pemilih ke TPS dan menutup kertas suara tidak bergambar.
Dengan kondisi sosiologi tersebut, maka kolom kosong merupakan alat demokrasi yang menguji dua kekuatan sekaligus, yaitu kekutan pasangan calon dan kekuatan partai politik. Apakah legitimasi politik partai akan pudar oleh kolom kosong, atau sebaliknya justru partai politik akan berlomba menunjukkan kekuatannya sebagai daulat rakyat dalam sistem demokrasi.
Selanjutnya tentu masih akan menunggu pendftaran dan penetapan pasangan calon oleh KPUD. Karena setiap manuver bakal calon, partai politik dan tentunya caleg terpilih akan menentukan di detik-detik menjelang penutupan pendaftaran di KPU Agustus nanti. (*)