Jokowi dan Politik

  • Bagikan

Oleh : Saifuddin

Direktur Eksekutif Lembaga Kaji Isu-Isu Strategis

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Jean Baudrillard, dikenal sebagai penulis tentang simulakra yang memberi pengaruh pada publik dunia. Namun dua tahun sebelum sang penulis meninggal dunia, dalam bukunya yang berjudul The Agony Of Power, Jean Baudrillard mengambil celah terakhir pada situasi membingungkan yang saat ini kita hadapi, yaitu saat kita keluar dari sistem "dominasi" dan memasuki dunia generalisasi "hegemoni" di mana setiap orang menjadi sandera dan kaki tangan pasar global.

Kaki tangan itu tentu bekerja sesuai orderan para kompardor dengan sengaja mengaca-acak, lalu ia dengan terang-terangan disemua media berpidato dan berbicara bahwa kita tetap tumbuh sebagai negara demokrasi, dan 13 tahun mendatang kita akan menjadi negara maju.

Politics of public deception begitu kental dan masif untuk didengarkan seakan menjadi kebenaran tertinggi dalam kekuasaan. Kata Adian Napitupulu dalam sebuah diksusi di Mata Najwa, Jokowi, kalau dulu kebohongan yang dia ucapkan selalu kita anggap sebagai kebenaran, tetapi saat ini kebenaran pun yang dia sampaikan, kita tetap menganggap sebagai kebohongan. Ini adalah bentuk distrust publik terhadap kekuasaan.

fakta-fakta empirik itu tidak mudah terhapus dari jejak percakapannya. Bahkan Jokowi pernah mengungkapkan kalau anak-anaknya tidak tertarik dengan politik, tetapi realitasnya ditarik ke jantung politik untuk merebut kekuasaan. Dan, Gibran Rakabuming Raka di derek dengan keras oleh tangan-tangan Jokowi seperti MK untuk meloloskan anaknya.

Begitu pula Kaesang Pangarep melalui MA juga pada akhirnya bisa lolos mencalonkan diri sebagai gubernur. Semua itu menjadi sineas politik bagi Jokowi dan para kroninya. Termasuk partai-partai yang ada di ketiaknya---karena tersandera secara politik mau atau tidak mau ahrus membebek kepada keinginan dan nafsu kekuasaan Jokowi dan keluarganya. Perspektif Baudrillard ini adalah bentuk dominasi dari kekuasaan.

Dominasi dalam perspektif Baudrillard bukan sebatas penguasaan diskursus semata, akan tetapi lebih dari itu, penguasaan terhadap celah-celah politik seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan untuk melanjutkan dominasinya. Dan, Jokowi sedang memerankan “Domination of Power”. Termasuk membagi kekuasaan untuk keluarga dan kroninya adalah praktik Agony of Power.

Pada perspektif kedua tentang hegemoni, yakni kendali kekuasaan seperti dilakukan di satu tangan seorang pemimpin yang diktator. Tokoh hegemoni seperti Antonio Gramsci dari awal mengkritik gaya dan praktek kekuasaan yang hegemonian---karena berkecendrungan fasis dan otoritarian dan membiarkan ketimpangan sosial itu terjadi.

Ketimpangan di sektor pembangunan adalah ciri khusus untuk melihat teori hegemonian Gramsci. Menarik benang merah perspektif tersebut kita bisa ambil dari pembangunan IKN (Ibukota Nusantara) yang ada di kalimantan, hingga saat ini terjadi perang “gestur dan bahasa” antara presiden dengan menteri (Majikan dengan pembantu).

Di satu pidato presiden mengurutkan jumlah investor yang masuk di IKN bahkan disebutkan ocerloadscribe, namun dibantahnya sendiri dengan mengatakan kalau investor belum masuk di IKN. Bahkan Bahlil sebagai menteri investasi, di lain waktu juga pernah mengatakan kalau investor sudah masuk di IKN. Ternyata ia juga membantah ucapannya di waktu yang lain kalau investor belum masuk di IKN. Keduanya bisa dibilang terjebak dalam simulakra Baudrillard.

Sekali lagi Gramsci dalam hegemoninya, bahwa pembangunan yang dipenuhi ambisi adalah bentuk fasisme dalam negara. akan ada ketimpangan yang akan di tinggalkan, karena hegemoni politik dari kekuasaan. Ketimpangan itu bisa terjadi karena adanya teror terhadap kelompok minoritas.

Secara realitas, ketimpangan pembangunan selalu dimulai dari satu pertanyaan, siapa yang akan diuntungkan? Faktanya, tidak sedikit pembangunan yang dilakukan oleh negara selalu menempatkan kaum pemodal sebagai prioritas, dan warga negara selalu menjadi “buruh atau pekerja” atau lebih ekstremnya menjadi korban dari pembangunan.

IKN, satu di antara ketimpangan bahkan bisa menjadi kejahatan atas nama pembangunan yang akan membunuh secara massal bagi penduduk setempat (wraga negara), tanah, rumah, sawah, kebun bahkan hutan diambilalih atas nama negara dan pembangunan, lalu rakyat memilih pindah dan terusir dari tanahnya-praktik ini adalah bentuk teror dari perspektif Baudrillard.

AHY sebagai menteri ATR/BPN belum lama ini mengungkapkan kalau ribuan hektare tanah di IKN masih diduduki warga. Pernyataan ini bukan semiotik, tetapi ini pernyataan adalah pernyataan yang terbalik (membaca pikiran penguasa harus dengan logika terbalik), sejak dulu warga telah mendiami tanah-tanah mereka, justru dengan adanya IKN berusaha mencaplok dan merampas tanah-tanah rakyat atas nama negara dan pembangunan. Dan, ini juga bentuk teror negara kepada warga negara.

Dan pada fase yang krusial, ketua Otorita IKN dan wakilnya mengundurkan diri dengan alasan keberpihakannya kepada rakyat. Artinya ada diktatorisme yang terselubung dari kekuasaan yang sulit diterima oleh hati nurani, sehingga pengunduran diri bagi kepala Otorita IKN adalah jalan terhormat.

IKN kembali menuai seribu pertanyaan dan berbagai spekulasi pun bermunculan. Dan ini semua karena politik ambisi dari seorang Jokowi untuk sebuah citra personalnya. Beban negara yang cukup besar dengan pembangunan IKN yang hanya mengandalkan APBN tentu sangat mengkhawatirkan “negara kolaps”.

Ini ancaman serius bagi negara, belum lagi korupsi yang merajalela, rupiah yang semakin anjlok atas dolar, harga bahan pokok sulit dikendalikan, runtuhnya marwah hukum, disparitas sosial, dan fenomena sosial politik yang kian runyam. Aksi politik balas dendam Jokowi pun mulai dikerahkan lewat tangan KPK dengan tujuan menghabisi Hasto Kristiyanto (Sekjen PDIP) atas kesaksiannya terhadap Harun Masiku.

Pembungkaman dan pembunuhan karakter Hasto dimulai dari dinginnya AC KPK, ditinggal sendiri berjam-jam, penyitaan tas dan handphone dari tangan ajudan adalah serangan spikologi teror politik Jokowi ala baudrillard ke Hasto.

Dan akankah ambisi Jokowi ini berhasil memuluskan semua agenda politiknya?, dominasi, hegemoni dan teror---juga akan berakhir seiring terkuburnya ambisi Jokowi itu sendiri. Pada 20 Oktober 2024 adalah jawaban untuk itu. Seperti Nietzsche, Baudrillard tidak pernah takut mengguncang segala sesuatu, apa pun hasilnya. (*)

  • Bagikan