Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
MAKASSAR,RAKYATSULSEL - Tragedi politik di tahun 2024 sejak pemilihan presiden beberapa bulan yang lalu yang menuai begitu banyak masalah dan kontroversial di berbagai level sosial masyarakat. Mulai dari posisi ketua MK yang mempunyai political interest terhadap putusan Nomor 90 Tahun 2023 tentang batas umur capres dan cawapres menjelang pemilu.
Atas dasar putusan tersebut dengan berbagai dugaan dan spekulasi kalau putusan itu sarat muatan politik yang di desain lewat by order dari kekuasaan. Gibran (anak Presiden Jokowi) yang belum cukup umur untuk dicalonkan sebagai cawapres---ternyata lewat putusan MK tersebut dapat lolos sebagai cawapres.
Keputusan MK tersebut pada akhirnya mengundang reaksi berbagai elemen masyarakat---yang dianggapnya cacat sebagai moral dalam hukum, tetapi di satu sisi putusan MK itu mengikat, sehingga tidak alasan untuk membatalkannya.
Sebagai konsekuensi logis ketaatan pada hukum, pada akhirnya semua pihak harus menerima dengan lapang dada. Pada saat yang tidak lama karena putusan tersebut menuai berbagai rekasi dan kontraproduktif di ruang publik---sehingga lewat MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi) yang dinakhodai Profesor Jimmly memberikan sanksi pemecatan kepada Ketua MK Anwar Usman yang kebetulan ipar dari Presiden Jokowi. Publik menilai bahwa putusan tersebut sarat dengan muatan politik yang mementingkan kepentingan keluarga yang kemudian disebut sebagai nepotisme.
Pemecatan tersebut menimbulkan “huru hara” politik karena putusan itu cacat secara etika dan moral---bahkan Prof. Yusril Ihza Mahendra pun memberikan komentar kalau putusan tersebut cacat secara moral. Tetapi karena ketaatan pada hukum, maka tidak alasan untuk tidak menerimanya sebagai konsekuensi dari decision of law. MK pun tersimpulkan kalau menjadi penyebab rusaknya hukum ditangan para penegak hukumnya.
MK Kembali Hidup
Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 adalah dianggap kematian hukum di gedung MK. Sebagian pihak tak lagi menganggap kalau MK akan kembali hidup setelah melegalisasi tragedi politik menjelang pilpres kemarin. Ketidaknetralan aparat penegak hukum juga menandai kalau hukum dibunuh secara brutal dengan cara bersama-sama.
Tetapi kita kembali dikagetkan beberap hari terakhir ini dengan putusan MK Nomor 60 Tahun 2024 yang mengubah aturan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen terkait pemilihan kepala daerah. Sehingga putusan MK-60 ini memberi ruang bagi partai politik yang nonparlemen kini biasa berkoalisi untuk mengusung kepala daerah.
Dalam putusannya MK memberikan keleluasan pada publik dan partai politik dapat mengusung calon kepala daerah gubernur, bupati, dan walikota berbeda presentasenya sesuai jumlah penduduk sesuai UU Pemilu 10 tahun 2016.
Dengan mengambil contoh seperti Anies Baswedan yang bisa kembali maju sebagai calon Gubernur Jakarta dengan diusung parpol seperti PDIP yang sebelumnya terganjal parliamentary threshold. PDIP bisa mengajukan pasangan calon kepala daerah bersama parpol nonparlemen seperti Partai Buruh dan Gelora. Dengan putusan MK 60 PDI Perjuangan tidak lagi jadi penonton di ajang pilkada khususnya di DKI Jakarta, artinya Pilkada DKI tidak akan mungkin melawan kotak kosong.
Putusan MK 60 mengubah landscap politik. Mahkamah Konstitusi mengubah aturan dalam UU Pilkada mengenai aturan pencalonan kepala daerah. Aturan yang diubah MK adalah terkait penghitungan parpol untuk mengusung kepala daerah. Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 ini langsung berlaku untuk Pilkada 2024.
Aditya Perdana, dosen Ilmu Politik FISIP UI yang juga Direktur Eksekutif ALGORITMA Research and Consulting, menyatakan putusan MK yang menurunkan ambang batas pencalonan Pilkada menjadi di bawah 20 persen ini mengubah banyak hal. Putusan MK hari ini secara mengejutkan memiliki dampak yang serius bagi pemetaan koalisi politik yang sedang dipersiapkan oleh partai politik," kata Aditya, Selasa (20/8).
Dengan melihat desain koalisi hanya dengan komposisi 20 persen, diyakini akan berubah banyak. Apalagi dengan argumen pembentukan KIM Plus ini akan mendorong banyak perubahan terutama bagi parpol yang berada di KIM ingin mengajukan sendiri, tanpa harus menggenapkan menjadi 20 persen. Termasuk keputusan partai pemenang di DKI misalnya seperti PKS pada akhirnya mengubur mimpinya untuk mengusung calon sendiri—karena sudah terikat kontrak politik di koalisi KIM Plus.
Putusan MK juga diyakini akan mendorong banyak kesempatan bagi calon kepala daerah yang sudah patah arang dan putus asa untuk kembali punya peluang mencari partai-partai yang bisa mendorong pencalonan disesuaikan dengan persentase yang telah ditentukan oleh putusan MK tersebut. Tertutupnya peluang para calon dan figur potensial untuk maju terhenti karena koalisi besar di KIM Plus yang memborong semua partai di barisan koalisi.
Putusan MK ini tidak hanya akan berdampak kepada calon seperti Anies Baswedan ataupun PDIP yang ditinggal oleh koalisi besar, tetapi juga akan membuat pergerakan dan dinamika politik yang luas bagi para calon yang belum punya kesempatan dalam bangunan koalisi yang ada. Perubahan politik di daerah ini akan terjadi menjelang pembukaan pendaftaran nanti. Sekalipun sedikit melelahkan untuk membangun koalisi dengan waktu yang sedikit. Tetapi paling tidak putusan MK 60 tahun 2024 sebagai penggambaran kalau ada harapan baru dalam siklus politik yang akhir-akhir ini terpasung.
Aturan yang diubah MK adalah terkait penghitungan parpol untuk mengusung kepala daerah. Aturan mengenai hal tersebut termuat dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 atau UU Pilkada. Berikut bunyi pasal sebelum diubah MK: Dalam aturan itu, perhitungan mengacu pada jumlah kursi DPRD di daerah yang terkait. Kini, MK mengubah aturan tersebut. Acuannya kini kepada jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap (DPT). Setelah diubah Pasal tersebut kini berbunyi: Selain itu, MK juga menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (3) UU 10 tahun 2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Salah satu yang menjadi sorotan dalam Pilkada adalah Pilgub DKI Jakarta. Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus memborong hampir semua partai politik untuk mengusung Ridwan Kamil dan Suswono. Lawannya kemungkinan besar pasangan independen Dharma Pongrekun-Kun Wardana. PDIP menjadi satu-satunya partai tak masuk dalam koalisi tersebut. Suara PDIP sendiri tidak memenuhi syarat untuk mengajukan calon sendiri. Petahana Anies Baswedan pun kemungkinan tidak bisa maju dalam Pilgub Jakarta 2024 karena kursi parpol diborong KIM Plus.
Namun bila merujuk aturan baru putusan MK, maka PDIP dapat mengusung calon sendiri. Jakarta punya DPT 8,2 juta pemilih. Sesuai aturan yang diputuskan MK, Jakarta masuk dalam kategori pasal 40 huruf c. Dalam aturan itu, MK mengklasifikasikan daerah dengan DPT 6-12 juta, maka partai politik bisa mengusung calon dengan perolehan suara minimal 7,5%. Pada Pileg 2024, PDIP meraih 14,01% di Jakarta. Dengan begitu, PDIP bisa mengajukan calon sendiri tanpa koalisi.
Putusan MK 60 tahun 2024 pada tanggal 20 Agustus 2024 bukan hanya menjadi titik balik kembalinya MK sebagai sokoguru tegaknya hukum dan konstitusi bernegara---tetapi juga putusan tersebut tentu juga baik bagi kehidupan berdemokrasi. Betapa mengejutkannya setelah semua dipreteli demi meneguhkan poros kekuasaan untuk mendapatkan legacy politik---justru MK menunjukkan perannya sebagai medium penegakan konstitusi dengan putusan melegakan parpol yang dikebiri dan suara rakyat yang diabaikan. Ini sesungguhnya angin segar dalam kehidupan berdemokrasi atas kembalinya marwah MK.
Tetapi sepertinya putusan MK 60 tahun 2024 juga menyisakan kontraproduktif ketika hal tersebut di bawa keruang parlemen. Lewat Badan Leguslasi (Baleg) DPR RI terendus modus operandi untuk membatalkan dengan cara mengeluarkan perpu terhadap putusan MK. Dan itu juga menciptakan reaksi dari berbagai pihak terkait posisi DPR yang mencoba “bermain api” ditengah badai kemarahan dan katarsis publik.
Kini putusan MK tersebut berada dipusaran politik—untuk membawa ke sidang paripurna DPR. Ini bencana demokrasi---ketika DPR sebagai representasi perwakilan politik rakyat tidak taat pada hukum termasuk putusan MK sebagai bagian dari pengejahwantahan konstitusi bernegara.
Di Titik Anomali
Ketika putusan MK 90 tahun 2023 yang mengabulkan batas usia capres dan cawapres sebagai bentuk kepatuhan dan ketaatan pada hukum tertinggi dari mahkamah Konstitusi, yang mengharuskan semua pihak harus tunduk, taat dan patuh pada hukum yang berketetapan mengikat dan tetap. Saat itu secara personal beberapa angoota DPR angkat bicara soal putusan tersebut bahkan ada yang pro dan ada yang kontra---tetapi tetap menjadi putusan yang tidak tergugat di lembaga perwakilan rakyat.
Pertanyaannya, kenapa putusan MK 60 tahun 2024 menimbulkan polemik—bahkan kekisruhan setelah DPR lewat Baleg nya mencoba menganulir putusan tersebut dengan berbagai dalih, dalil dan alibi penolakan. Anomali ; putusan MK 90 tahun 2023 disuruh taat dan patuh sebagai konsekuensi keputusan politik hukum di MK, tetapi begitu berbeda dengan putusan MK 60 tahun 2024 justru terkesan elit tidak mematuhinya---terbukti ada indikasi untuk menganulir atau membatalkannya.
Inilah efek bola salju dari pergeseran kekuasaan---dari negara hukum menjadi negara kekuasaan. Baca (David Easton, 1974 ; The political System) yang menjelaskan tentang negara politika dan negara demokrasi. Negara politika adalah negara yang diurus oleh banyak orang tetapi peruntukan kekuasaan itu hanya untuk segelintir orang, keluarga, kolega dan kroni.
Sementara negara demokrasi adalah negara yang dikelolah oleh banyak orang tetapi peruntukan kekuasaan untuk banyak orang (dari, oleh dan untuk rakyat---Demoskratos).
Pada negara kekuasaan, politik menjadi dominan daripada power of law (kekuatan hukum). Sehingga tidak heran kalau kemudian politik “mengkerangkeng hukum” sekaligus menjadi alat gebuk kekuasaan terhadap rivalitas politik bahkan kolega yang berkasus secara hukum---maka politik sandera pun sulit dihindari. Inilah titik anomali kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini.
“Kabut gelap di altar demokrasi, hukum di penggal---agar kekuasaan melanggengkan diri”
Sirine dan alarm darurat konstitusi telah berbunyi sebagai peringatan alam---untuk mereka yang menafikkan kebenaran, selamat berpesta pora. (*)