Oleh: Anis Kurniawan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Usai masa pendaftaran bakal calon kepala daerah, bersiaplah dihujani jargon-jargon pemenangan. Jargon merupakan sehimpun istilah, ungkapan, singkatan atau frasa yang unik dalam komunikasi massa.
Dalam political marketing, jargon ditujukan untuk menarik dukungan dan simpati pemilih. Sebuah jargon yang menarik akan merepresentasikan makna-makna positif seorang elite. Pendeknya, jargon tidak saja khas atau gampang diingat, tetapi juga punya makna linear dengan personalisasi seorang politikus.
Jargon yang menarik dalam pemenangan politik akan lebih mudah dipopulerkan di akar rumput. Melalui jalur komunikasi antar tim, lalu diperkuat dari alat peraga kampanye, sebuah jargon akan membathin dalam benak para pendukung.
Jargon tidak sekadar diteriakkan dengan lantang, tetapi dapat memengaruhi alam “bawah sadar”. Itulah, sebabnya, jargon politik yang bagus lagi menohok, akan bertahan lebih lama. Ia terus menghujam dalam ingatan, meski kontestasi politik sudah berlalu.
Di sinilah peranan bahasa dalam politik. Bahasa digunakan untuk mengkonstruksi pesan dan makna-makna agar menyentuh sasaran. Bahasa digunakan sebagai senjata untuk “membunuh” lawan-lawan tanpa menyakitinya secara fisik.
Dengan kepiawaian menggunakan Bahasa, seseorang dengan sadar dapat menjadi barisan fanatik politikus. Membuat takjub dan secara sukarela memilih seorang kandidat.
Hal itu karena, sejatinya, bahasa memang menggerakkan, di samping melemahkan. Bahasa dapat menjelaskan sebuah realitas, disamping mengaburkan realitas. Pemanfaatan Bahasa dalam politik sebagai sarana komunikasi bahkan kampanye, tentulah membutuhkan kreativitas tinggi.
Oleh sebab itu, jargon yang dipilih dan digunakan bukanlah sesuatu yang sifatnya mana suka atau arbitrer. Tetapi, kehadirannya berangkat dari proses kontemplasi, kreativitas dan pengayaan secara berulang-ulang. Suatu istilah, ungkapan atau singkatan yang dijadikan jargon politik harus dilihat implikasinya secara kompleks dengan perspektik tiga ratus enam puluh derajat.
Pertama, tentu mempertimbangkan makna leksikal suatu kata atau frasa yakni makna yang ditangkap secara langsung dengan penyebutan kata tersebut. Makna leksikal belum mengalami konotasi dan hubungan pragmatik dengan kata lain. Perlu dipastikan, frasa yang diambil tidak bersinggungan dengan makna-makna negatif atau berasosiasi dengan hal tertentu yang melemahkan.
Tidak cukup sampai di sini, sebuah jargon juga perlu melihat aspek kedua yakni keterkaitan antara frasa yang dipilih dengan hal-hal kompleks lainnya. Antara lain dengan karakteristik figur, korelasi dengan jualan politik, partai pendukung, wilayah, dan lainnya. Ada banyak aspek yang perlu dicermati.
Ketiga, jargon yang dipilih punya hubungan khusus dengan istilah-istilah umum dalam masyarakat. Dapat berkaitan dengan istilah-istilah bahasa lokal yang populis, potongan lagu kekinian, istilah yang sedang trending dan lainnya. Hal ini penting diperhatikan agar jargon tersebut punya “sense of history” dan juga “sense of humor” atau bahkan frase yang memiliki “sense of morality”.
Tiga hal ini setidaknya dapat memandu kita menemukan frasa yang tepat menjadi jargon politik. Penemuan jargon yang tepat dapat dilakukan dengan “brainstorming” di internal tim. Bila perlu dan dianggap penting, tentu tidak ada salahnya mengajak ahli bahasa, seniman, atau penulis dalam mencetus jargon politik. Jalan pintas lainnya, mungkin melalui bantuan artificial inteliigence (AI) atau penemuan secara spontan.
Bila merefleksi ke belakang, dari sekian banyak momen politik, para politikus acapkali memberi kejutan. Selalu saja ada jargon-jargon menarik yang tetiba akrab di telinga. Gampang dilafalkan berulang-ulang.
Namun, tak sedikit pula dari jargon-jargon itu diplesetkan ke konotasi negatif yang melemahkan. Ehhm! Tak sedikit pula yang nirmakna, sekadar kata-kata tanpa isi—tanpa sensasi. Dan karenanya, tidak memberi bobot secara elektoral.
Di era demokrasi digital saat ini, seorang politikus memang perlu menata bahasa politik yang digunakan. Tidak saja dari jargon yang digunakan, tetapi juga pola komunikasi politik yang lebih luas. Tidak saja pada kandidat yang bertarung, tetapi juga orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Apa mungkin itu terjadi di tengah memanasnya situasi politik setiap momen pemilihan? Semua bergantung pada para elite politik yang bertarung. Siapa yang menjaga kata-kata dalam pertempuran, dia akan bertarung dengan kesadarannya yang utuh untuk melihat demokrasi sebagai ajang riang gembira.
Apa pun itu, jargon yang menarik bukanlah segalanya. Jargon haruslah membawa spirit perubahan dan dapat diwujudkan secara operasional—jargon adalah petanggungjawaban moral.
Sudah saatnya, pemilih juga fokus mendaras makna-makna yang berseliweran di balik jargon politik, kelak akan menemukan wajah dan kualitas kandidat sesungguhnya. (*)