Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Tahun 2018, saya menulis buku yang berjudul Obituari Demokrasi yang diterbitkan oleh Diva Press Jogjakarta setebal 312 halaman. Buku tersebut sangat diilhami oleh fenomena politik kolom kosong yang lagi marak dalam kontekstasi politik nasional dalam pilkada serentak 2018.
Tetapi yang lebih menariknya dalam buku tersebut adalah kemenangan kolom kosong di Pilwali Makassar yang dimenangkan oleh kolom kosong dengan perolehan 53,7 persen. Ini fenomena terburuk dalam demokrasi di Indonesia.
Fenomena kolom kosong adalah peristiwa politik yang didominasi oligarki yang berusaha memborong partai politik—bukan alasan karena seorang figur atau kandidat itu mumpuni, tetapi cara lain dalam menggembosi rival politik dengan cara mengangkangi semua partai politik dengan biaya yang cukup mahal. Fenomena kolom kosong Kota Makassar menjadi pelajaran penting bagi kehidupan demokrasi.
Menyoal tentang obituari—obituari senantiasa disematkan pada peristiwa heroik dari kehidupan seorang agamawan Kristiani, ketika ia wafat maka akan dibacakan perjalanan hidupnya. Tentang hal-hal yang baik dalam semua dimensi kehidupannya, agar menjadi pelajaran bagi mereka yang ditinggalkannya.
Namun dalam hal ini penulis meminjam istilah ini untuk disandingkan satu terma pemikiran yang bernama demokrasi. Sehingga muncullah kalimat “Obituari Demokrasi” yang bisa diterjemahkan secara harfiah dengan makna “pengumuman kematian demokrasi”.
Terkait Obituari Demokrasi---bangsa ini punya pengalaman sejarah yang cukup panjang. Era Orde Baru adalah era di mana keterkungkungan kebebasan berpendapat dibungkam dengan sedemikian rupa. Ada yang disebut dengan istilah subversif. Sehingga tidak sedikit para aktivis saat itu ditangkap dan dipenjara hanya karena kritis kepada penguasa. Bahkan ada yang dibunuh dan diculik. Tragedi ini tentu bagian dari sejarah panjang tentang kematian demokrasi.
Rezim pun berganti—memasuki era keterbukaan dan transformasi yang digerakkan dengan kekuatan civil society. Reformasi menjadi cita-cita awal akan tumbuhnya demokrasi dan kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam negara.
Namun era keterbukaan ternyata bukan jaminan atas berlangsungnya demokrasi dengan baik. 26 tahun pasca reformasi, justru kita seringkali menghadapi situasi di mana demokrasi diberangus dengan cara-cara merusak tatanan hukum demi hasrat dan kekuasaan.
Termasuk memberangus panggung-panggung diskusi dengan cara menggerakkan premanisme dalam ruang publik.
Katakanlah tragedi 29 September 2024 di Forum Tanah Air FTA) yang dihadiri tokoh-tokoh nasional seperti Prof. Dr. Din Syamsuddin, Refly Harun, Muhammad Said Didu, Mantan Danjen Kopassus (Mayjen) Sunarko, Prof. Dr. Ghusnul Mariyah, serta beberapa tokoh lainnya di Grand Hotel Kemang---yang dibubarkan oleh kelompok tak dikenal dengan mengobrak-abrik ruangan diskusi kebangsaan itu.
Pertanyaannya, inikah demokrasi? Perilaku premanisme sesungguhnya telah melukai prinsip-prinsip demokrasi. Ini sekaligus ancaman bagi keberlangsungan demokrasi ke depan. Berbagai spekulasi dari aparat keamanan pun bermunculan termasuk pembubaran itu karena alasan tidak ada izin.
Tapi publik membantah kalau tidak ada izin seharusnya aparat penegak hukum yang membubarkan bukan lalu memakai tangan premanisme. Prinsip-prinsip demokrasi sangat bertentangan dengan perilaku barbar dalam kehidupan bernegara.
Negara-negara yang sudah maju demokrasinya, kritik dari setiap warga negara dan elemen lainnya dianggap sebagai nutrisi bagi pertumbuhan demokrasi. Sebab negara-negara maju selalu terbuka dengan kritik sebagai kekuatan penyeimbang penguasa. Sebab kritik dipandang sebagai sesuatu masukan yang kritis untuk pemerintah.
Franklin D Roosevelt—“Bila politik bengkok, maka puisi akan meluruskannya, bila politik kotor maka sastra akan membersihkannya” demikian kritik sosial begitu dibutuhkan untuk memberikan peringatan (warning) kepada pemerintah.
Kenapa demokrasi harus menjadi pilihan dalam bernegara? Karena itu dianggap otoritarianisme adalah sistem yang antikritik dan cenderung despotis. Sehingga peristiwa pembubaran diskusi, pembungkaman suara-suara kritis adalah bagian dari cara pembunuhan demokrasi. Indeks demokrasi harus dibangun dari suasana kritik yang membangun.
Bila kritik dianggap sesuatu yang mengganggu, berarti sistem itu adalah otoriter. Dan otiritarianisme sudah jatuh sejak reformasi 1998, tepatnya 26 tahun yang lalu. Bila hari ini dibangkitkan, maka sejarah masa lalu dikubur, dan kita kembali menikmati hari-hari yang mencemaskan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal secara substansi demokrasi itu harus tumbuh dengan baik melalui kritik---karena kritik adalah basis politik warga negara diluar parlemen dan kekuasaan.
Oleh sebab itu, ketika panggung-panggung diskusi, mimbar akademik, tulisan-tulisan, puisi, orasi, teatrikal dipandang sebagai ancaman bagi kekuasaan, maka pada saat yang sama itu juga menjadi ancaman bagi kehidupan demokrasi.
“Hiduplah dengan kritik, karena kritik mencerminkan bahwa kita punya pikiran, tanpa kritik---maka pikiran pun dipertanyakan”. (*)