Oleh: Ema Husain Sofyan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Maraknya kejadian soal rekomendasi Bawaslu yang diabaikan oleh KPU dengan pertimbangan tersendiri, menghiasi perjalanan tahapan pelaksanan Pilkada serentak yang telah dilaksanakan beberapa kali.
Rekomendasi blBawaslu wajib ditindaklanjuti oleh KPU, jika hal tersebut diabaikan maka anggota KPU sangat riskan untuk disanksi kode etik di DKPP yang berujung pada pemberhentian sebagai anggota KPU.
Banyak contoh kasus mengenai rekomendasi yang tidak dijalankan oleh KPU, seperti pada Pilkada Kota Palopo tahun 2018 silam. KPU Kota palopo tidak mengindahkan rekomedasi Bawaslu untuk mendiskualifikasi peserta Pilkada saat itu.
Pada akhirnya komisioner KPU Palopo diberhentikan oleh DKPP. Namun pasangan calon yang direkomendasikan untuk didiskualifikasi ternyata muncul sebagai pemenang.
Yang menarik adalah kajian komisioner Kota Palopo yang menyatakan bahwa Kemendagri melalui Dirjen Otoda menegaskan mutasi yang dilakukan petahana Kota Palopo tidak melanggar aturan.
Ditambah surat dari KPU RI yang menyatakan tidak ada pelanggaran yang berarti sehingga cukup alasan untuk tidak menjalankan rekomendasi bawaslu untuk mendiskualifikasi petahana saat itu.
Ini menunjukkan jika terkadang pelanggaran dalam ranah etik seperti yang terjadi pada kasus Kota Palopo tahun 2018 silam, berlainan dengan sikap Mahkamah Konstitusi (MK) yang tetap mensahkan legalitas petahana yang dianggap bermasalah oleh Bawaslu.
Tentu saja banyak pertimbangan yang menjadi dasar MK dalam mengambil keputusan.
Banyak kasus dalam pilkada yang telah berlangsung dimana komisioner diberhentikan, namun putusan yang telah dibuat dianggap resmi dan tidak bertentangan dengan hukum.
Bahkan putusan pelanggaran etik oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) awalnya final dan mengikat dan tidak adalagi upaya hukum untuk menyanggahnya.
Namun terkadang ada pula para pihak yang merasa tidak puas dengan putusan DKPP, melakukan upaya hukum berupa mengajukan gugatan di PTUN untuk menyoal putusan DKPP.
Sampai akhirnya MK mengeluarkan putusan nomor 32/PUU-XIX/2021 yang pada intinya mengikatnya putusan DKPP bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu sebagai atasan langsung yang berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelenggara pemilu sesuai tingkatannya.
Artinya keputusan Presiden, KPU beserta jajarannya dan Bawaslu beserta jajarannya sebagai keputusan pejabat TUN yang bisa diuji atau digugat di peradilan tata usaha Negara.
Artinya putusan DKPP bukanlah putusan peradilan yang haram untuk digugat di PTUN. Hal ini berbuah dari gugatan Evi Novida Ginting yang berhasil menggugat putusan DKPP berupa gugatan atas keputusan presiden sebagai tindak lanjut atas putusan DKPP. Dan berbuah merehabilitasi nama baik penggugat sebagai anggota KPU.
Kita berharap dalam tahapan Pilkada serentak nasional yang saat ini berjalan, tidak adalagi rekomendasi bawaslu yang isinya problematik, dalam artian tidak disanggah oleh KPU sebagai pihak yang mengeksekusi rekomedasi dari Bawaslu. Sebab dampaknya dapat mengganggu tahapan Pilkada. (*)