Oleh : Babra Kamal
Akademisi Universitas Teknologi Sulawesi
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Baru-baru ini publik ramai bicara tentang penangkapan mantan menteri perdagangan era Presiden Jokowi oleh Kejaksaan Agung-Tom Lembong. Dia dikenal sebagai seorang pengusaha dan salah satu tim sukses pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam Pilpres 2024.
Berita ini mengejutkan karena selama ini sosok Tom Lembong dicitrakan cukup bersih dan di media massa namanya tidak pernah dikaitkan dengan salah satu kasus korupsi. Apakah penangkapan ini sebagai bentuk keinginan kuat pemerintahan baru melawan korupsi atau karena Tom Lembong berada di kubu yang bersebelahan dengan pemenang kontestasi Pilpres?
Memang, sejak reformasi persoalan korupsi menjadi masalah yang belum ditemukan resep mujarabnya, walaupun saat ini kita punya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) namun perannya semakin dibonsai. Kita tentu masih ingat, September 2019 gaduh di parlemen terkait rencana revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang mendapat protes keras dari gerakan mahasiswa sampai harus menelan korban jiwa.
Korupsi seperti benang kusut. Mengutip almarhum Profesor Marwan Mas, guru besar ilmu hukum Universitas Bosowa mengatakan “kita ini korupsi sejak dari pikiran”. Pernyataan Profesor Marwan tersebut mungkin didasari rasa frustasi terhadap kondisi penegakan hukum dan perilaku koruptif di Tanah Air. Tulisan ini mencoba membedah hubungan antara struktur ekonomi-politik di Indonesia dengan perilaku korupsi yang masih menjadi problem akut bangsa ini.
Absennya Borjuis Nasional?
Profesor Vedi Hadiz dalam salah satu kuliah umum di Universitas Indonesia dengan tema “Hubungan Bisnis Negara” mengungkapkan bahwa struktur ekonomi kita memang rapuh. Sejak era kolonial hingga saat sekarang ini, “kita tidak punya fundamental ekonomi yang kuat,” ujarnya.
Mengikuti Richard Robison, ia mengatakan, selama kurang lebih 3,5 abad, kolonialisme telah mewariskan kepada Indonesia suatu struktur perekonomian yang didominasi oleh perusahan-perusahaan asing. Perusahaan-perusahan tersebut terutama mendominasi bidang seperti perkebunan, pertambangan, perdagangan luar negeri, industri, dan perbankan.
Secara singkat Hadiz merangkumnya menjadi tiga bentuk struktur ekonomi masa kolonial. Yang pertama, ekonomi skala besar di kuasai oleh orang Eropa, ekonomi skala menengah dikuasai oleh kalangan Tionghoa, dan ekonomi skala kecil (pertanian subsisten dan perdagangan kecil) dikuasai pribumi. Menurutnya, Sarekat Islam dahulu muncul justru untuk melindungi domain ekonomi kecil yang terancam oleh kelas yang di atasnya.
Setelah kemerdekaan, Bung Karno berusaha membangun borjuasi nasional (pengusaha nasional) yang tangguh melalui program benteng yang bertujuan untuk membangkitkan kelas pengusaha pribumi. Namun karena sabotase ala kapitalis birokrat, lisensi yang telah didapatkan oleh pengusaha pribumi itu pun beralih “dikerjasamakan” ke pengusaha Tionghoa (Ali Baba) yang di kemudian hari berhasil membangun konglomerasi di Indonesia.
Upaya nasionalisasi perusahaan asing yang dikumandangkan Bung Karno pun tak banyak menolong yang di belakang hari justru diserahkan ke tangan militer. Momen inilah untuk pertama kali militer berbisnis. Nasionalisasi perusahaan asing menjadikan militer masuk ke bisnis secara resmi. Hasil-hasil nasionalisasi yang seharusnya bisa menjadi modal membangun industri dalam negeri justru mengalami kemacetan.
Di era Orde Baru, Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) dibuat sebelum UU Penanaman Modal Dalam Negeri. Ini menggambarkan watak dari pemerintahan orde baru yang sangat berharap pada modal asing. Karena pengusaha nasional mandek dan tidak terbangun. Pemerintahan Orde Baru sebenarnya juga mencoba membangun pengusaha domestik dengan jalan memberikan kredit, subsidi, dan monopoli tapi dalam perjalanannya hal tersebut lebih condong menjadi semacam rent seeking.
Sehingga, hampir dikatakan tidak ada ‘pengusaha nasional’ yang sejati di Indonesia. Semua bisnis besar di Indonesia diciptakan oleh negara. Relasi bisnis dan negara inilah yang tidak jauh berubah hingga pasca-reformasi saat ini atau dalam istilah Hadiz Predatory Capitalism: akumulasi modal pribadi berdasarkan kontrol kepada sumberdaya publik.
Iklim yang nir-pengusaha nasional inilah yang kemudian berkembang luas, semuanya dikembalikan kepada negara. Apalagi di era Orde Baru negara sangat kuat mencengkeram kehidupan berbangsa, konglomerasi yang tumbuh hanya yang berada di sekitar Cendana.
Budaya Konsumtif
Tak berkembangnya ekonomi yang tumbuh dari modal sendiri, atau dalam bahasa Bung Karno "berdikari" menjadikan kita bangsa kita tak jauh berbeda pada masa kolonial dahulu, mana kekayaan hanya mengalir keluar negeri akibat penguasaan sumber daya alam yang masih dikuasai asing.
Hal inilah yang selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad terjadi. Bangsa yang tidak berdikari seperti yang selalu tersirat dalam Pidato Bung Karno, bangsa yang tidak mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian secara budaya.
Apalagi sejak kita menganut ekonomi liberal, maka bisa dikatakan hampir seluruh sektor, tunduk kepada resep ekonomi IMF dan WB. Mulai dari privatisasi, deregulasi, pencabutan subsidi, dan seluruh resep ekonomi neoliberal bisa dipastikan kita terjerembab ke dalam lubang yang lebih dalam lagi.
Dengan absennya pengusaha nasional secara otomatis berkonsekuensi pada ketiadaan produksi nasional yang kuat menopang produksi barang dan jasa, dalam hal ini “industrialisasi nasional”. Hal ini berkonsekuensi kepada ketidakmandirian ekonomi, maka bangsa Indonesia terlempar menjadi bangsa yang konsumtif.
Mengutip Pramoedya Ananta Toer, “korupsi itu terjadi karena konsumsi lebih besar dari pada produksi”. (*)