MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Ombudsman Republik Indonesia mendorong pemerintah daerah di Sulawesi Selatan agar segera membuat regulasi terkait jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja informal seperti nelayan dan petani. Kebijakan ini diharapkan bisa meningkatkan jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan melalui peraturan daerah (Perda) maupun aturan khusus dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Selatan, Robert Na Endi Jaweng, menilai perlindungan bagi pekerja informal sangat penting, mengingat tingginya risiko kerja para pekerja informal tersebut.
"Pekerja informal, khususnya petani dan nelayan, berperan besar dalam pembangunan di sektor pertanian dan kelautan, namun tingkat kerentanannya sangat tinggi," ujar Robert, saat ditemui pada Diskusi Nasional dengan tema Optimalisasi Pelayanan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Terhadap Pekerja Informal, di Balai Kota Makassar, Senin (11/11/2024).
Robert mengatakan regulasi tersebut nantinya akan menjadi dasar untuk pengalokasian anggaran untuk perlindungan bagi pekerja informal. "Perda itu nantinya menjadi payung hukum," imbuh Robert.
Robert mengatakan Ranperda terkait perlindungan bagi pekerja Informal di Sulawesi Selatan sedang dalam tahap finalisasi. Dia mengaku telah bertemu dengan Ketua DPRD Sulsel dan Wakil Ketua DPRD Sulsel untuk memberikan dukungan untuk percepatan pengesahan Ranperda tersebut.
"Ini bertujuan untuk mendorong agar pemerintah daerah memiliki payung hukum yang jelas," tutur Robert.
"Isi regulasi secara nasional itu sudah komprehensif. Tetapi terjemahan regulasi di tingkat wilayah di provinsi apalagi kabupaten kota itu masih sangat minim. Kalau regulasinya minim, alokasi APBD nya bagi pekerja jamsosnaker itu akan rendah," sambung dia.
Lebih lanjut, Robert menjelaskan setelah regulasi terbentuk, pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggaran APBD untuk mendukung pembiayaan bagi petani, nelayan, dan pekerja informal lainnya, untuk masuk dalam kategori miskin ekstrem.
Selain pemerintah, dia mengaku pihaknya juga mendorong agar pihak swasta, perusahaan, atau individu tertentu untuk turut membantu dengan memberikan iuran bagi pekerja informal.
Meski begitu, Robert mengapresiasi capaian tingkat kepersertaan BPJS Ketenagakerjaan Kota Makassar menjadi daerah tertinggi di Sulsel.
Sehingga, Ia menyebut capaian tKota Makassar tersebut dapat menjadi percontohan bagi wilayah lain di Sulsel maupun Indonesia.
"Kepesertaan di Makassar kami apresiasi karena menjadi yang paling tinggi di Sulsel, meski belum optimal. Kami harap Makassar bisa menjadi contoh bagi daerah lain," imbuh Robert.
Sementara itu, Kepala BPJS Ketenagakerjaan Kantor Wilayah Sulawesi Maluku, Mintje mengatakan untuk memperluas cakupan kepersertaan BPJS Ketenagakerjaan pihaknya bekerja sama dengan berbagai agen, seperti Brili, Perisai, dan PT Pos Indonesia, untuk menjangkau masyarakat lapisan bawah.
"Untuk hasil kajian ombudsman ada beberapa hal termasuk BPJS Ketenagakerjaan dalam hal bisa menyentuh masyarakat paling bawah," ujar Mintje.
Salah satu contoh dari manfaat mengikuti kepersertaan BPJS Ketenagakerjaan yakni pemberian bantuan medis bagi pekerja ojek online di Kota Makassar. Dia mengatakan pengemudi ojek online ini diberikan bantuan pengobatan hingga akhirnya meninggal dunia sebesar Rp 1,4 miliar.
Biaya tersebut, lanjut dia, ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan, yang diserahkan langsung oleh Pj Gubernur Sulsel, Bahtiar Baharuddin, kala itu.
"Itulah salah satu manfaat kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dengan iuran yang rendah tetapi manfaat yang sangat besar," ungkap Mintje.
Oleh karena itu, untuk memperluas cakupan kepersertaan BPJS Ketenegakerjaan, Ia mengatakan pentingnya kolaborasi berbagai pihak. Mulai dari, Pemerintah, BPJS Ketenagakerjaan, Ombudsman hingga pengusaha. (shasa anastasya/B)