Oleh: Yarifai Mappeaty
Pemerhati Masalah Sosial dan Politik
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pilkada serentak 2024 di beberapa daerah diterpa pelbagai isu primordial. Paling mengemuka adalah isu putra daerah, yang pada gilirannya memunculkan dikotomi putra daerah vs bukan putra daerah, tak terelakkan. Padahal konsekuensi demokratisasi yang kita anut, tak lagi mengenal istilah putra daerah atau bukan putra daerah.
Namun realitasnya, setiap kontestasi pilkada yang melibatkan kandidat bukan putra daerah, isu primordial itu pasti akan muncul secara alamiah. Biarkan saja. Sepanjang tidak diartikulasikan secara terbuka di hadapan umum, isu itu tak bakal menjadi ramai, apalagi menjurus pada rasisme.
Sebagai isu yang memiliki potensi elektoral, tentu menarik dieksploitasi untuk kepentingan pemenangan. Tidak hanya dapat dilakukan oleh kandidat putra daerah, tetapi juga dapat dilakukan oleh kandidat yang bukan putra daerah. Tetapi tetap saja kandidat putra daerah yang paling berpotensi memanfaatkannya.
Pilkada di Sulawesi Tenggara (Sultra), misalnya, isu putra daerah dibunyikan oleh kubu kandidat putra daerah demikian kencang, karena elektabilitas kandidat putra daerah keteteran. Menurut laporan sejumlah survei, elektabilitas Andi Sumange Rukka (ASR), yang nota bene adalah bukan putra daerah mengalahakan para pesaingnya, kebetulan semuanya putra daerah.
Hal serupa juga dialami oleh Muhammad Fauzi di Pilkada Luwu Utara, lantaran elektabilitasnya mengungguli lawan-lawanya. Sehingga untuk menghentikannya, Abang, begitu ia dipanggil, coba di-down grade dengan isu putra daerah.
Bagaimana pula jika isu putra daerah justeru dibunyikan oleh kandidat yang bukan putra daerah? Sangat mungkin menggunakan pendekatan teori bisul dan playing victim. Isunya diledakkan lebih dini agar tidak meledak belakangan yang menimbulkan dampak lebih besar, kemudian yang bersangkutan berlagak korban untuk mendapatkan simpati publik.
Di Pilkada Sulsel, tampaknya pendekatan ini coba diadaptasi oleh Danny Pomanto jauh hari sebelum dirinya ditetapkan sebagai calon kepala daerah. Melalui penelusuran di Google dengan kata kunci “Isu putra daerah di pilkada Sulsel”, penulis setidaknya menemukan dua pemberitaan menarik terkait hal itu.
Pertama, Rakyatsultra.id pada 05 Agustus 2024 dengan judul: “Warga Gorontalo Dukung Putra Terbaiknya, Danny Pomanto Maju di Pilkada Sulsel.” Kedua, iNewscelebes.id pada 16 Agustus 2024 dengan judul: “Rasisme Putra Daerah, Ancaman terhadap Tatanan Demokrasi di Sulawesi Selatan.”
Apakah strategi Danny berhasil? Boleh jadi. Sebab sejauh ini, isu putra daerah di Pilkada Sulsel relatif tak bunyi. Persisnya, tak popular. Tetapi bisa juga bukan karena strategi Danny, melainkan lebih karena pesaingnya, Sudirman – Fatma, yang memang ogah memanfaatkan isu itu.
Apa mungkin begitu? Sebagai putra daerah, Sudirman – Fatma tentu sangat faham karakter masyarakat Sulsel yang egaliter dan rasional dalam hal memilih pemimpin, serta tradisi to manurung yang masih hidup di alam pikiran masyarakat Sulsel. Itu sebabnya kubu Sudirman – Fatma enggan bermain-main dengam isu itu, karena berpotensi menjadi bumerang.
Kubu Sudirman – Fatma terbukti benar tak membunyikan isu itu. Sebab sebuah survey paling mutakhir menemukan 57,4% masyarakat Sulsel tidak memilih karena faktor kesamaan suku. Dan, kontribusi elektoral variable putra daerah pun hanya 7,1%, relatif kecil. Temuan ini sekaligus mengkonfirmasi elektabilitas Sudirman – Fatma, bukan karena isu putra daerah.
Lalu, apa yang membuat elektabilitas Sudirman – Fatma demikian tinggi mengalahkan Danny - Azhar? Tentu banyak faktor. Tetapi yang paling dominan adalah faktor kualitas personal calon gubernur itu sendiri.
Indikator melaporkan bahwa ada 5 parameter kualitas personal calon paling berpengaruh bagi masyarakat Sulsel di dalam menentukan pilihan, yaitu : pro-rakyat; jujur; bersih; tegas – berwibawa; dan mampu memimpin Sulsel. Dan, dalam hal ini, Sudirman dipersepsi lebih baik dari pada Danny.
Oleh karena itu, bermain-main dengan isu putra daerah adalah konyol. Sebab pilihan masyarakat lebih ditentukan oleh kualitas personal calon yang dinilai lebih baik. Tak peduli pada latar belakang suku.
Di lain pihak, membaca laporan survei itu, seyogyanya para pendukung Danny – Azhar tak perlu berkecil hati. Sebab siapa tahu Danny Pomanto justeru ditakdirkan menjadi to manurung di Sulawesi Selatan. Setidaknya, sudah mendapat dukungan solid dari keturunan to manurung.
Hanya jangan lupa bahwa kendati masyarakat Sulsel itu egaliter, namun masih tetap berlaku pepatah Bugis yang artinya kurang lebih, "Jika tatangga jauh tak lebih baik dari pada tetangga dekat, maka untuk apa belanja jauh-jauh. (*)
Makassar, 10 Nevember 2024