Isu Perempuan-Anak Terabaikan

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Salah satu isu penting yang "luput" dari sorotan calon wali kota dan wakil wali kota Makassar pada debat terbuka kedua adalah mengenai perempuan dan anak. Dalam debat yang berlangsung selama 3,5 jam, perhatian empat pasangan calon hanya fokus pada tema utama.

Padahal, dalam sub tema yang disodorkan oleh penyelenggara, terdapat isu tentang perkawinan anak yang mencakup tentang perempuan dan anak. Ironisnya, ada kandidat yang malah fokus pada isu "receh" soal ambulans dan kuburan.

Debat terakhir calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar, yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum pada Rabu (13/11/2024) mengundang berbagai tanggapan dari para aktivis perempuan. Kendati belum memuaskan dan belum menyentuh akar persoalan, isu perempuan dan persoalan pernikahan serta kekerasan terhadap anak serasa tidak mendapat tempat.

Selain tak muncul dalam sesi menjawab pertanyaan yang disusun oleh panelis, isu ini juga tak disinggung dalam sesi tanya jawab oleh antar pasangan calon.

Aktivis perempuan, Andi Sri Wulandani mengatakan, isu perempuan dan anak dalam dua kali debat Pilwali 2024 tidak spesifik dibahas secara mendalam. "Isu perempuan memang penting diangkat di sesi debat Pilwali Makassar namun belum terlalu mendalam baik perlindungan anak maupun kekerasan terhadap perempuan," ujar Andi Sri, Kamis (14/11/2024).

Menurut dia, meskipun pertanyaan ketika debat pertama untuk calon yang menyinggung pelayanan publik inklusif, termasuk kepada perempuan dan anak, namun di sub tema debat kedua, paslon dan panelis tidak membahas sama sekali.

"Saya kemarin menyimak debat. Ada isu krusial soal perempuan dan perlindungan anak belum diulas paslon. Begitu juga soal perkawinan anak dan isu gender," tutur dia.

Tema Debat Kedua Pilkada Makassar 2024 yakni Wujudkan Makassar Kota Berperadaban Maju Melalui Harmonisasi Pembangunan Nasional dan Daerah, Tata Kelola Lingkungan Hidup yang Berkeadilan, dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat.

Ada deretan sub tema yang dibahas yakni memajukan daerah soal potensi yang dimiliki Makassar. Kemudian, menyelesaikan persoalan daerah yang mencakup masalah banjir, lingkungan, sampah, ruang terbuka hijau (RTH), serta transportasi dan kemacetan.

Terakhir, subtema keselarasan/keserasian pelaksanaan pembangunan daerah antara kabupaten/kota dan provinsi dengan nasional. Di dalamnya ada isu pembangunan nasional dan daerah, SGDs-infrastruktur, stunting, perkawinan anak, kemiskinan ekstrem, serta aksesibilitas dalam pembangunan.

Andi Sri menuturkan, isu perempuan dan anak sejatinya masuk dalam subtema perkawinan anak dan SDGs. Dia mengatakan, sustainable Development Goals yang artinya tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB). SDGs mencakup berbagai isu pembangunan sosial dan ekonomi.

"Sedangkan SDGs sendiri merupakan tujuan pembangunan berkelanjutan di mana target 2030 tidak ada lagi yang tertinggal termasuk kelompok perempuan diharapkan tidak tertinggal lagi dari laki-laki," imbuh dia.

Andi Sri menyinggung soal perkawinan anak yang mana perempuan mengalami kerentanan berlapis, yaitu menikah di usia anak pada saat organ reproduksinya belum siap dan belum memiliki skill yang memadai.

"Ini penting dibahas paslon, mengingat fenomena pernikahan dini masih bergantung secara ekonomi pada orang tua dan rentan menimbulkan bayi lahir stunting. Bila semua yang menikah dini memiliki anak ini bisa melahirkan kemiskinan baru," ujar Andi Sri.

Andi Sri juga menyarankan sebaiknya isu gender memang dibuat khusus dan tidak hanya menjadi sub tema debat, karena banyak sekali isu turunan dari tema gender ini.

"Misalnya, relasi gender dan kesetaraan, perempuan berhadapan dengan hukum, perempuan dan politik, perempuan pesisir, pemenuhan ekonomi perempuan dan lainya," ujar dia.

"Tapi, saya yakin panelis sudah memberi yang terbaik berdasarkan ketentuan KPU. Sesungguhnya setiap pertanyaan dapat dielaborasi jawabannya," tambah dia.

Pemerhati masalah perempuan di Sulsel, Aflina Mustafainah menilai bahwa kompleksitas dalam membahas masalah perempuan menjadi salah satu faktor minimnya isu ini dibahas. Bahkan, kata dia, bukan hanya Pilwali Makassar tetapi hampir semua sesi debat kandidat baik tingkat kabupaten/kota maupun provinsi di Sulsel.

"Saya mengaitkan dengan beberapa debat Pilkada di Sulsel yang memang hampir tidak memuat isu perempuan. Jika pun dijawab oleh kandidat seringkali tidak menggunakan perspektif perempuan," ujar Aflina.

Aflina yang dua kali ditunjuk sebagai panelis debat kandidat pada Pilkada Sulsel, termasuk di Pilbup Gowa mengatakan, dalam debat tersebut panelis bertanggung jawab untuk membuat pertanyaan namun berdasarkan pada tema yang diberikan oleh KPU.

Selanjutnya panelis disebut menyusun pertanyaan demi pertanyaan. Salah satu sumbernya adalah diambil dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah atau RPJPD tersebut. Dalam dokumen tersebut sudah ada beberapa program yang akan dilaksanakan di tahun berikutnya sehingga harus disesuaikan.

"Jadi daerah itu punya prediksi atau menetapkan indikator misalnya pada tahun sekian akan mereka buat sekian, itu yang kita baca. Jadi kalau Makassar kemarin yang dibaca itu salah satunya angkanya, itulah semua yang panelis cari sumbernya. Kadang juga ada yang tidak bersesuaian kalau lihat data," ungkap dia.

Berbicara masalah perempuan, Aflina mengatakan salah satu yang harus dibahas adalah masalah kemiskinan. Masalah ini disebut turut berimbas pada perempuan dan anak, apalagi dalam data pemerintah disebut kadang tidak sinkron dengan data di lapangan dengan data yang mereka pegang.

"Angka kemiskinan bisa tampak jelas, tetapi ada kondisi pendapatan per kapita tinggi, namun angka kemiskinan tetap tinggi. Di Pangkep, misalnya, PDRB atau penghasilan bruto masyarakat terlihat tinggi, tetapi mereka masih tergolong miskin," ujar dia.

Ketua Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan (YPMP) Sulsel ini melanjutkan, khusus di Makassar, permasalahan kemiskinan disebut belum terselesaikan hingga level individu. Terlebih, jika intervensi pemerintah hanya dilakukan pada tingkat rumah tangga, dan tidak menyentuh distribusi sumber daya tiap individu, sehingga tingkat kemiskinan pun belum berkurang secara menyeluruh.

Apalagi, menurut Aflina, pengalaman kemiskinan antara laki-laki dan perempuan juga berbeda akibat adanya pembagian kerja berdasarkan gender.

"Perempuan sering tidak keluar rumah karena adanya pembagian kerja seksual dalam rumah tangga, seperti memasak, mencuci, dan merawat anak. Pekerjaan ini tergolong kerja non-produksi dan kerja perawatan," kata dia.

Pembagian kerja yang berbeda ini, lanjutnya, menyebabkan pengalaman kemiskinan perempuan lebih kompleks. Dia mencontohkan ketika laki-laki keluar rumah dan menghadiri acara, mereka mungkin mendapat makanan gratis, sementara perempuan tetap di rumah tanpa akses ke sumber daya tersebut.

"Semua ini bisa membuat pengalaman miskin perempuan itu berbeda. Karena pembagian kerja secara seksual itu sudah tergenderkan atau terpisah gara-gara budaya gender itu," sebut dia.

Dalam konteks Pilwali Makassar, Aflina mengatakan meskipun ada tiga kandidat perempuan yang maju, namun hal itu belum tentu mencerminkan keterwakilan perempuan dalam politik. Tiga kandidat perempuan yang dimaksud yakni calon wakil wali kota nomor urut 1 Aliyah Mustika Ilham, calon nomor urut 2 Rezki Mulfiati Lutfi, dan calon wali kota nomor urut 3 Indira Yusuf Ismail.

"Mereka mungkin memiliki pengalaman sebagai perempuan, tetapi itu belum cukup untuk disebut sebagai kepemimpinan perempuan," ujar dia.

Dia menekankan bahwa kepemimpinan perempuan harus bersifat representatif, bukan sekadar memiliki identitas perempuan secara biologis. Politik representatif, kata dia, berarti kandidat perempuan tersebut harus mampu mewakili kebutuhan dan kepentingan perempuan lainnya.

Salah satu tantangan utama dalam membawa isu perempuan ke dalam debat politik, kata Aflina, adalah mengaitkannya dengan isu-isu besar lainnya, seperti perubahan iklim.

"Perubahan iklim adalah isu yang sangat kompleks. Apalagi jika kita kaitkan dengan perempuan, tingkat kerumitannya semakin tinggi," ucap Aflina.

Dia menjelaskan bahwa perubahan iklim berdampak langsung pada perempuan, terutama yang bekerja di sektor pertanian. Perempuan yang bertani, misalnya, harus mencari cara agar tanamannya tetap tumbuh di tengah situasi iklim yang berubah. Perempuan disebut perlu meningkatkan daya tahan atau resiliensi dalam menghadapi tantangan ini.

Ketidakmampuan untuk mengatasi perubahan iklim disebut dapat memperburuk kondisi ekonomi, utamanya perempuan dan akan ikut berdampak pada anak.

"Namun, banyak orang menganggap hal ini terlalu rumit dan akhirnya memilih untuk mengabaikan isu tersebut," ungkap Aflina.

Menurut dia, keengganan masyarakat untuk membahas isu perempuan seringkali disebabkan oleh kerumitan yang dianggap berlebihan. Padahal, menurutnya, jika bisa memahami isu perempuan, banyak permasalahan yang bisa diatasi, karena hampir separuh dari populasi kita adalah perempuan.

Aflina mencontohkan, jika pemerintah kota peka terhadap isu perempuan, maka 50 persen permasalahan masyarakat, seperti banjir, dapat terselesaikan.

"Banjir tidak hanya tentang kerugian aset, tetapi juga berimbas pada pendidikan anak-anak dan kesejahteraan keluarga yang banyak diurus oleh perempuan," jelas dia.

Dia menyayangkan bahwa fokus pemerintah seringkali hanya pada kerugian ekonomi, tanpa mempertimbangkan dampak sosial pada perempuan.

"Misalnya, saat banjir, buku sekolah anak-anak hilang, atau hewan ternak perempuan mati. Itu semua berdampak, tetapi jarang diperhitungkan," ujar Aflina.

Untuk itu, Aflina mengajak semua pihak untuk mulai memikirkan isu perempuan secara mendalam dan berkelanjutan. Utamanya para pemangku kebijakan, isu perempuan disebut tidak hanya pada masalah kesetaraan saja tapi juga pada bagaimana peningkatan kebutuhan ekonominya serta perlindungannya.

"Isu perempuan sebenarnya tidak rumit, hanya saja kita perlu terbiasa membahasnya. Jika kita mau terbuka, ada banyak persoalan yang bisa diselesaikan," kata Aflina.

Sementara itu, pengamat politik Nurmal Idrus menilai secara umum penampilan empat paslon di debat Pilwali Makassar terlihat berimbang, karena isu yang disampaikan seperti mengulang program yang sudah disampaikan ke publik lewat momentum dialogis atau kampanye tatap muka.

"Jika menyimak penyampaian paslon soal program mereka masing-masing punya keunggulan. Hal itu sudah juga disampaikan lewat kampanye dialogis," kata dia. (isak pasa'buan-suryadi/C)

  • Bagikan