MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Mahkamah Konstitusi memutuskan pelarangan penggunaan foto atau gambar dalam kampanye pemilihan umum (pemilu) maupun pemilihan presiden dengan teknologi artificial intelligence atau AI.
Upaya dengan memanfaatkan teknologi tersebut dinilai sebagai bentuk manipulasi citra diri dari kenyataan yang sesungguhnya. Apa alasan di balik keputusan MK tersebut dan apa dampaknya bagi pelaksanaan pemilu?
Keputusan MK tersebut tertuang dalam putusan Nomor 166/PUU-XXI/2023 yang dibacakan hakim konstitusi pertengahan pekan lalu. Ketua MK, Suhartoyo menjelaskan citra diri pada foto atau gambar dalam Pasal 1 angka 35 dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut dia, hal ini tidak memiliki kekuatan hukum sepanjang tidak diartikan dengan foto atau gambar sebenarnya. MK juga menegaskan foto atau gambar yang digunakan untuk kampanye tidak boleh dimanipulasi dengan menggunakan teknologi AI.
Lantas bagaimana respons politikus di Sulawesi Selatan mengenai putusan MK tersebut? Ketua Partai Kebangkitan Bangsa )PKB) Sulsel, Azhar Arsyad menilai bahwa putusan MK itu dipandang dari berbagai perspektif tentu ada dampak baik dan tidaknya. Namun, kata dia, apapun keputusan itu sudah menjadi kewajiban partai politik dan peserta pemilu maupun pilpres untuk mengikuti di masa yang akan datang.
"Ini tergantung sudut pandang orang mau melihat sisi baik atau buruk. Tapi, apapun itu, MK sudah putuskan, kami dari partai politik wajib untuk taat," ujar Azhar, Minggu (5/1/2025).
Menurut dia, putusan MK soal penggunaan AI pada hajatan politik perlu dimaknai sebagai langkah pencegahan untuk menghindari modifikasi wajah di gambar atau hal merugikan khalayak.
"Memang kita ambil dari sisi positif saja, mungkin saja MK memiliki pandangan melarang kampanye menggunakan AI karena editing ataupun hal lain bisa saja merugikan publik," imbuh dia.
Adapun, Wakil Ketua Partai Gerindra Sulsel, Syawaluddin Arief mengatakan, partai politik patut mengikuti putusan dan larangan dari MK maupun KPU sebagai penyelenggara pemilu nantinya.
"Saya kira tidak masalah, kalaupun MK dan KPU tidak memperbolehkan aplikasi AI dipakai kampanye, Kami ikuti karena aturan untuk dijalankan, bukan dilanggar," ujar dia.
Syawaluddin mengatakan, perkembangan teknologi kecerdasan buatan tidak perlu ditakuti karena bila digunakan untuk hal-hal positif justru dapat membantu manusia. Yang terpenting, kata dia, masyarakat mau belajar memanfaatkan AI.
"Sederhananya kita harus belajar. Adanya AI tidak perlu ditakuti. Bahkan akan membuat menjadi manusia seutuhnya, karena ada banyak sekali pekerjaan yang sangat melelahkan itu dengan mudah dapat diselesaikan dengan bantuan teknologi," imbuh dia.
Syawaluddin menambahkan, adanya larangan itu bertujuan untuk mencegah teknologi AI dimanfaatkan pada hal-hal negatif, termasuk tindak kejahatan di dunia maya.
"Pemerintah punya kewenangan untuk menciptakan ketertiban masyarakat dengan regulasi yang tegas, sehingga pendidikan, sosialisasi serta penegakan hukum bagi mereka yang melanggar bisa membuat efek jera," tutur dia.
Adapun Wakil Ketua Golkar Sulsel, Nasran Mone menyebutkan bahwa larangan AI pada kampanye tentu butuh pengawasan yang ketat.
"Kenapa saya bilang begitu, karena bisa menimbulkan berbagai polemik jika tak diawasi dengan baik. Jika kampanye, kalau disebar berbagai group siapa awasi," ujar Nasran.
Dia mengatakan, yang perlu dilakukan semua pihak dalam merespons AI yakni maksimalkan manfaatnya, meminimalkan risikonya. Menurut Nasran, perlu juga Kementerian Komunikasi dan Informatika mengeluarkan surat edaran terkait panduan penggunaan AI.
Apabila terdapat program atau aplikasi yang menggunakan teknologi AI generatif untuk menghasilkan sebuah produk seperti foto, gambar atau video, maka produk tersebut harus diberikan semacam label.
"Panduan itu akan mengatur norma-norma bagi pengembang, pengguna, dan para pemangku kepentingan yang terlibat dalam penggunaan teknologi AI," ujar dia.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, DR Hasrullah mengatakan pengguna AI dalam kegiatan politik utamanya dalam pemilu akan sulit untuk dihindari.
"Dalam politik dikenal yang namanya casing politik. Yang dipermak itu casingnya. Jadi sosok figur yang mau kelihatan muda, gagah, dan cantik. Sebenarnya itu imitasi (tiruan), makanya barangkali dilarang oleh MK, kenapa bukan foto aslinya saja dipasang," kata Hasrullah.
Hasrullah menjelaskan, penggunaan AI di era kemajuan teknologi sangat sulit dihindari termasuk pemanfaatannya sebagai komunikasi politik. Terlebih penggunaan teknologi AI lebih digandrungi oleh milenial atau Gen Z yang juga banyak berkontribusi dalam perpolitikan.
Menurut Hasrullah, penggunaan AI dalam perhelatan pesta politik sebenarnya sah-sah saja sepanjang itu tidak melanggar norma dan etika. Apalagi jika gambar tersebut dibuat berdasarkan kesepakatan atau persetujuan dari orang yang mukanya hendak diedit.
"Memang (kadang) sudah dimodifikasi terlalu jauh, tapi itu juga bagian dari program Gen Z. Jadi kemajuan teknologi dalam generasi kita saat ini sehingga banyak yang melakukan seperti itu," kata Hasrullah.
"Tapi persoalannya, sepanjang itu bisa diterima.(tidak masalah). Yang bahaya itu kalau tidak didesain dengan baik, misalnya gambarnya dikasih hewan, seperti musang, nah itu berbahaya. Tapi sepanjang itu merekayasa fotonya yang aslinya ditempel, seperti lukisan tidak masalah," sambung dia.
Dia mencontohkan, dalam Pemilu 2024 seluruh kandidat atau calon presiden dan wakil presiden turut memanfaatkan teknologi AI untuk mengedit gambar atau video dirinya agar lebih mudah dan lucu.
Sebut saja pasangan presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakilnya Gibran Rakabuming dalam Pemilu 2024, tim pemenangan atau pendukungnya banyak menggunakan kecerdasan buatan untuk menarik simpati pemilih, utamanya milenial. Pasangan bahkan terkenal dengan julukan "Gemoy" atau games asoy dikarenakan gambar dan video AI lucu-lucu.
"Susah juga untuk melarang sampai seperti itu. Karena ini generasi milenial dengan Gen Z itu yang melakukan (tertarik) hal seperti itu. Sehingga dipakailah cara gemoy oleh Prabowo-Gibran dan itu menarik simpati karena melihat ciri-ciri kesamaan homofili itu dalam melakukan persuasi politik," imbuh dia.
Dalam ilmu komunikasi politik, Hasrullah mengatakan ada yang disebut dengan social engagement atau interaksi yang terjadi antara merek dalam hal ini calon dan audiens atau pemilih di media sosial. Engagement dapat diukur dengan melihat jumlah like, komentar, dan share di media sosial.
Sehingga pengguna teknologi AI disebut sengaja digunakan calon baik presiden ataupun kepala daerah untuk membranding diri atau personal dalam membentuk citra atau reputasi diri di mata publik atau pemilih.
"Tujuan itu, untuk membranding, untuk mendekatkan pikiran, rasa dekat secara psikologis. Makanya orang tua bisa digambar seperti itu dan lebih mudah. Jadi kalau begitu, ini juga sosial engagement, di ilmu komunikasi itu ada dikatakan seperti itu. Bagaimana kekuatan media sosial membentuk pikiran, membentuk imajinasi," ulas Hasrullah.
"Lihat saja gambar Prabowo-Gibran itu mampu menarik Gen Z. Di komunikasi itukan dikenal dengan teori menarik kesamaan-kesamaan sehingga orang mau sama kita. Kecuali kalau mukanya Prabowo diganti musang atau gambar yang sangar-sangar itu bisa tersinggung. Tapi kalau itu animasi dan seni, sepanjang orang tersebut tidak merasa dirugikan itu nda masalah," lanjut dia.
Untuk itu, Hasrullah menyampaikan sebenarnya penggunaan AI dalam perhelatan politik tidak masalah. Terlebih jika itu digunakan dalam hal positif dan tidak melanggar etika dan norma yang berlaku.
"Susah juga orang dihalangi dalam media sosial seperti ini, karena ini jaman Gen Z. Sepanjang keindahan itu tidak melanggar etika tidak masalah. Kecuali vulgar, kalau mengandung keindahan dan menambah performance dia, nda ada masalah," imbuh dia.
Sebelumnya, gugatan penggunaan AI dalam kampanye dilayangkan oleh advokat Gugum Ridho Putra bersama Tim Advokasi Peduli Pemilu (TAPP). Menurut mereka, penggunaan foto berbasis AI terjadi selama persiapan pemilu tahun lalu. TAPP berpendapat kampanye dengan foto, audio dan video yang menggunakan teknologi AI bertentangan dengan asas pemilu jujur.
TAPP mengusulkan agar manipulasi foto, audio, dan video untuk kampanye menggunakan teknologi digital ataupun AI supaya dilarang. Hal tersebut jelas bertentangan dengan asas pemilu jujur karena memunculkan keadaan misinformasi yang merugikan pemilih.
Dalam Sidang Pleno, MK kemudian mengabulkan gugatan untuk melarang penggunaan AI dalam foto untuk kampanye pilpres dan pemilu.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK, Suhartoyo dalam amar putusannya. Pemohon dalam petitumnya meminta pasal 1 Angka 35 menjadi berbunyi: "Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu berupa nomor urut, foto/gambar, suara, gabungan foto/gambar dan suara terbaru Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota tanpa manipulasi digital ataupun teknologi artificial intelligence (AI), atau setidak-tidaknya mewajibkan peserta pemilu mencantumkan keterangan yang dapat dibaca dengan jelas bahwa nomor urut, foto/gambar, suara, gabungan foto/gambar dan suara yang dipergunakan merupakan hasil manipulasi digital dan/atau teknologi artificial intelligence".
Melansir dari laman resmi MK, pertimbangan hukum hakim konstitusi mengemukakan jika rekayasa atau manipulasi berlebihan yang berkaitan dengan foto/gambar peserta pemilu dengan bantuan AI menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sejalan dengan asas pemilu bebas, jujur, dan adil.
Hakim menilai, informasi yang tidak benar dapat merusak loyalitas pemilih terhadap kandidat. Selain itu, manipulasi berlebihan ini dapat merusak kemampuan pemilih untuk mengambil keputusan secara berkualitas sehingga berdampak pada pemilih secara individual dan merusak kualitas demokrasi.
Wakil Ketua MK Saldi Isra mengungkapkan, menurut Mahkamah, sebagai warga negara yang mempunyai hak untuk memilih dalam pemilu harus dijamin hak dasarnya untuk memperoleh informasi yang benar, baik dalam pemilu presiden, legislatif, dan kepala daerah sebagaimana dijamin Pasal 28F UUD NRI 1945.
"Dengan demikian, Mahkamah berpendapat terhadap norma Pasal 1 angka 35 UU Pemilu sepanjang frasa 'citra diri' yang berkaitan dengan foto/gambar peserta pemilu harus dilakukan pemaknaan bersyarat dengan mewajibkan peserta pemilu untuk menampilkan foto/gambar tentang dirinya yang original dan terbaru serta tanpa direkayasa/dimanipulasi secara berlebihan dengan bantuan teknologi kecerdasan artifisial," jelasnya.
"Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah menilai terhadap permohonan Pemohon berkenaan dengan frasa 'citra diri' dalam norma Pasal 1 angka 35 UU pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 adalah beralasan menurut hukum," imbuh Saldi.
Pasal 1 angka 35 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mendefinisikan "citra diri" dalam konteks kampanye. Namun, aturan ini dianggap tidak memberikan batasan yang jelas terkait manipulasi foto atau gambar. Advokat Gugum Ridho Putra, yang mengajukan gugatan ini, berpendapat manipulasi foto dapat memengaruhi persepsi publik dan mengaburkan citra asli peserta pemilu. (suryadi-isak pasa'buan/C)