Ketika ketindihan terjadi, menggoyangkan tubuh atau membaca doa-doa tertentu dapat membantu membebaskan diri dari kondisi menakutkan ini.
Di sisi medis, ketindihan terjadi ketika tubuh berada di antara fase tidur dan terjaga. Proses tidur terdiri dari dua fase utama: NREM (Non-Rapid Eye Movement) dan REM (Rapid Eye Movement).
Saat memasuki fase REM, tubuh mengalami kelumpuhan sementara untuk mencegah gerakan fisik sesuai mimpi.
Ketindihan terjadi ketika seseorang tiba-tiba terbangun sebelum fase REM selesai, sehingga tubuh masih terkunci dalam kelumpuhan sementara, meskipun otak sudah sadar.
Gejala ketindihan meliputi ketidakmampuan menggerakkan tubuh atau berbicara, merasakan tekanan di dada, serta halusinasi visual atau auditorik seperti melihat bayangan atau mendengar suara aneh.
Penyebab medis ketindihan cukup beragam, antara lain kurang tidur, jadwal tidur yang tidak teratur, stres atau gangguan mental, penggunaan obat-obatan tertentu, serta penyakit seperti narkolepsi.
Data dari survei tidur nasional menunjukkan bahwa sekitar 8% populasi pernah mengalami ketindihan setidaknya sekali seumur hidup.
Angka ini lebih tinggi pada kelompok remaja dan dewasa muda. Studi juga menyebutkan, kurang tidur meningkatkan risiko sleep paralysis hingga 1,5 kali lipat.
Jadwal tidur yang tidak teratur juga menjadi pemicu utama, dengan risiko meningkat dua kali lipat pada individu yang sering bergadang.
Meskipun fenomena ketindihan dapat dijelaskan dari sudut pandang religius dan medis, keduanya sepakat bahwa menciptakan pola hidup yang sehat dan teratur adalah kunci pencegahan.
Menjaga kesehatan fisik dan mental melalui tidur cukup, rutin berolahraga, serta mengelola stres, dapat mengurangi risiko terjadinya ketindihan. (fin)