Oleh: Ema Husain
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Mahkamah Konstitusi (MK) melanjutkan persidangan dengan agenda pembuktian terhadap 40 perkara sengketa PHPU, yang terdiri dari PHPU pilkada gubernur, wali kota/bupati. Artinya permohonan tersebut tidak terkena putusan sela sebagaimana ratusan perkara lainnya.
Tentu saja permohonan banyak yang gugur karena tidak memenuhi syarat formal berupa selisih atau ambang batas yang disyaratkan undang-undang mulai dari 0,5 sampai dengan 2 persen selisih antara pemenang (pihak terkait) dengan Penggugat.
Juga karena permohonan daluarsa atau telat didaftarkan pada kepaniteraan MK. Yang mensyaratkan tiga hari kerja sejak ditetapkan oleh termohon dalam hal ini KPU. Yang terakhir gugatan tidak diterima akibat permohonan pemohon kabur.
Selain permohonan atau gugatan yang tidak dapat diterima dalam bentuk putusan MK, Mahkamah juga membacakan ketetapan berupa permohonan yang tidak lanjut karena ditarik oleh pemohon. Ataukah karena permohonan gugur, dalam hal ini pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan.
Seperti lembaga pemantau pemilih yang tidak terdaftar di KPU, namun mengajukan gugatan. Yang terkahir Ketetapan bisa karena MK tidak berwenang memeriksa objek permohonan, dalam hal ini Pemohon menggugat berita acara atau penetapan pasangan calon sebagai peserta pilkada.
Dengan jumlah perkara sebanyak 40 atau sekitar 12 persen dari jumlah pilkada serentak yang mendaftarkan permohonan di MK, angka tersebut cukup signifikan menurut penulis.
Tentu saja yang menjadi pokok dalam bersengketa di MK adalah kelengkapan alat bukti yang memadai, disertai dengan format dalam menyusun permohonan dengan dalil dan dalih yang logis dan runut, sehingga membuat Mahkamah yakin akan permohonan dan jawaban serta keterangan para pihak.
Dengan adanya permohonan yang tidak dapat diterima MK karena permohonan kabur, jelas adalah kesalahan dari kuasa dari prinsipal dalam hal ini calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Yang paling dirugikan adalah permohonan yang selisihnya memenuhi ambang batas sesuai dengan Pasal 158 UU Pilkada yang memenuhi syarat persentase. Namun karena permohonan yang dibuat tidak sistematis membuat permohonan tersebut digugurkan mahkamah.
Ternyata syarat calon menjadi permasalahan yang banyak disoal pada pemeriksaan pokok perkara, seperti syarat ijazah, kelakuan baik, tidak pailit atau memiliki tanggungan utang..dsb.
Namun kesemua perkara yang jumlahnya 40 perkara tersebut, tidak semuanya memenuhi ambang batas selisih suara sebagaimana syarat formal Pasal 158 UU Pilkada.
Namun keyakinan mahkamah ditambah alat bukti awal yang menjadi pedoman MK untuk melanjutkan pada pemeriksaan pokok perkara. Dengan kata lain banyaknya permohonan yang gugur diakibatkan oleh majelis hakim konstitusi tidak dapat mengesampingkan keberlakuan Pasal 158 UU Pilkada lantaran pemohon tidak mampu meyakinkan majelis mengenai dalil-dalil permohonan yang diajukan.
Semoga mahkamah dapat mencari kebenaran materil dalam lanjutan pemeriksaan pokok perkara yang saat ini sedang berlangsung. (*)