Oleh: Darussalam Syamsuddin
Hari ini Selasa tanggal 25 Februari 2025 Masehi bertepatan dengan tanggal 26 Syaban 1446 Hijriyah, beberapa hari ke depan umat Islam akan memasuki bulan Ramadan 1446 Hijriyah.
Penanggalan bagi umat Islam mengenal tiga bulan utama yakni: Rajab, Syaban, dan Ramadan. Jika ke tiga bulan ini dianalogikan dengan menggarap lahan, Rajab adalah bulan menanam, Syaban bulan menyirami, dan Ramadan sebagai bulan memetik hasil panen. Umat Islam senantiasa memohon berkaitan dengan ke tiga bulan ini: “Ya Allah limpahkan berkah kepada kami di bulan Rajab dan Syaban, dan sampaikan kami ke bulan Ramadan”.
Bagi umat Islam Ramadan menjadi bulan yang istimewa, karena di bulan Ramadan Alquran di turunkan. Ramadan juga disebut sebagai penghulu semua bulan, karena berbagai keutamaan dan keistimewaan di dalamnya.
Sebagaimana umat terdahulu, umat Islam pun diwajibkan berpuasa di dalamnya dengan berbagai ibadah yang menyertainya: salat tarawih, membaca Alquran, infak/sedekah, zakat, menyantuni fakir-miskin, memberi makan kepada yang berpuasa dan ibadah-ibadah lainnya.
Ramadan di pandang sebagai madrasah rohaniah bagi umat Islam, karena Ramadan tidak hanya berhenti pada ibadah puasa dan salat tarawih semata melainkan hubungan kepada sesama manusia dan makhluk lainnya juga harus terpelihara melalui ibadah-ibadah yang dilaksanakan umat Islam.
Riwayat menyebutkan bahwa “Rasulullah Saw. menyuruh salah seorang sahabatnya untuk mengantarkan makanan kepada seorang perempuan, perempuan itu berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin saya makan, sedang saya dalam keadaan puasa?
Nabi berkata: Mana mungkin ibu puasa, ketika saya lewat di depan rumah ibu sedang mengucapkan sesuatu kepada asisten rumah tangga ibu dengan ucapan yang tidak layak diucapkan oleh mereka yang berpuasa dengan menyakiti hati dan perasaan asisten rumah tangga ibu.
Perempuan ini hanya memaknai puasa dengan menahan makan, minum, dan syahwat saja dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Namun, perempuan ini menabrak norma-norma sosial puasa tanpa jiwa.
Banyak umat Islam melakukan puasa sebagaimana puasa yang dilakukan perempuan itu berhenti pada pelaksanaan puasa menurut syariat, tanpa berusaha untuk menuju hakikat puasa yakni tunduk pada kehendak Ilahi dengan meninggalkan kehendak diri sendiri.
Pesan Nabi bahwa: “Syariat itu ucapanku, tarekat itu perbuatanku, hakikat itu keadaanku”. Ketika seseorang berpuasa sesuai dengan petunjuk Nabi, makan sahur, puasa, berbuka, dan berdoa pada malam hari.
Hal itu berarti dia telah melaksanakan puasa menurut syariat, berada pada level yang paling elementer (paling dasar). Jika kita mencoba menerapkan perilaku Nabi menjadi perilaku kita, ketika puasa nabi juga menjadi puasa kita, berarti kita memasuki ketaatan yang lebih dalam, inilah tarekat puasa.
Jika kita menyaksikan apa yang disaksikan Nabi, ketika yang menutup mata kita disingkap atau dibukakan, kita memasuki wilayah hakikat.
Puasa kita di Ramadan kali ini kita berusaha untuk tidak berhenti hanya menahan makan, minum, dan syahwat saja. Melainkan kita berusaha untuk mengendalikan indra lahiriah dan batiniah.
Indra lahiriah yakni dengan mengendalikan: Pembicaraan, pendengaran, penglihatan, penyentuhan, dan penciuman. Sedangkan mengendalikan indra batiniah dengan mengendalikan: pikiran, ingatan, khayalan, rasa, dan indra yang menggabungkan semuanya.
Ketika kita mengendalikan pembicaraan, bukan hanya menghindari pergunjingan, memfitnah, berdusta, melainkan mengendalikan pembicaraan dari hal-hal yang tidak perlu.
Kita pun puasa bicara, Nabi Muhammad Saw. berpesan: “Berbahagia mereka yang menahan kelebihan bicaranya dan memberikan kelebihan hartanya”.
Demikian pula mengendalikan pendengaran, telinga kita berhak untuk tidak mendengar gibah, fitnah, dan pergunjingan. Demikian seterusnya, Marhaban ya Ramadan (selamat datang wahai Ramadan). Bulan yang dinanti kedatangannya, dan ditangisi kepergiannya. (*)