Patriarki dan Normalisasi Kekerasan

  • Bagikan

Oleh : Sriyanti Ambar

PAREPARE, RAKYATSULSEL - Belakangan ini, media sosial kembali menjadi saksi atas fenomena sosial yang menggambarkan wajah ketimpangan gender dan normalisasi kekerasan dalam keluarga. Sebuah video viral memperlihatkan momen sakral sungkeman dalam prosesi pernikahan yang berubah menjadi insiden mengejutkan: seorang ibu mertua menampar menantu perempuannya sesaat setelah prosesi berlangsung. Kejadian ini tidak hanya mengundang keterkejutan, tetapi juga menjadi cerminan bagaimana konstruksi sosial kita masih memberi ruang bagi ketidakadilan berbasis gender.

Dalam struktur sosial yang masih patriarki, perempuan sering kali ditempatkan dalam posisi subordinat, terutama dalam konteks pernikahan. Menantu perempuan sering kali dianggap harus menunjukkan kepatuhan tanpa syarat kepada keluarga suami, sebuah konsepsi yang semakin memperjelas bias gender dalam relasi domestik. Ketika seorang menantu laki-laki jarang atau bahkan tidak pernah mengalami perlakuan serupa, hal ini menunjukkan bahwa peran gender masih dilihat secara hierarkis.

Bias gender dalam keluarga tidak hanya berdampak pada beban psikis perempuan, tetapi juga memperkuat budaya ketidakadilan yang diwariskan secara turun-temurun didalam keluarga dan masyarakat. Kesetaraan dalam menjalankan peran dalam rumah tangga seharusnya tidak lagi menjadi wacana semata, tetapi harus direalisasikan dalam bentuk penghormatan dan pengakuan terhadap hak setiap individu, tanpa melihat jenis kelaminnya.

Video viral tersebut juga menyoroti bagaimana kekerasan dalam keluarga masih sering kali dinormalisasi. Tidak sedikit yang membenarkan tindakan tersebut sebagai "pelajaran" bagi menantu perempuan, seolah-olah kekerasan adalah bentuk disiplin yang sah dan wajar. Lebih ironis lagi, dalam video permintaan maaf yang muncul setelahnya, menantu perempuan terlihat mencium tangan ibu mertuanya, sebuah refleksi bagaimana korban kekerasan sering kali merasa perlu meredam konflik demi menjaga harmoni keluarga. Ini menunjukkan betapa normalisasi kekerasan telah merasuki cara berpikir banyak orang, sehingga korban justru harus berinisiatif berdamai meskipun telah diperlakukan tidak adil.

Dari perspektif hukum, tindakan menampar seseorang, apalagi di depan umum, dapat dikategorikan sebagai penganiayaan ringan sesuai Pasal 352 KUHP. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) juga memberikan perlindungan kepada korban, termasuk jika pelaku adalah mertua. Namun, banyak kasus kekerasan dalam keluarga tidak ditindaklanjuti secara hukum, dilakukan restorative justice, karena tekanan sosial atau dalih menjaga keharmonisan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi hukum masih menemui tantangan besar, terutama dalam menghadapi persepsi masyarakat yang cenderung menoleransi kekerasan dalam lingkup domestik.

Perdebatan tentang gender kerap dikaitkan dengan pengaruh pemikiran Barat atau dianggap bertentangan dengan nilai budaya lokal. Namun, jika menilik sejarah, beberapa masyarakat adat di Indonesia justru menerapkan sistem yang lebih egaliter. Masyarakat Minangkabau, misalnya, menganut sistem matrilineal di mana perempuan memegang peran strategis dalam keluarga. Budaya Bugis juga dikenal dengan penghormatan tinggi terhadap perempuan, sebagaimana diulas oleh budayawan La Oddang yang menyatakan bahwa perempuan dalam tradisi Bugis dimuliakan dan dihormati.

Kesetaraan gender bukan tentang menyamakan kodrat laki-laki dan perempuan, tetapi memastikan bahwa setiap individu memiliki akses dan kesempatan yang sama dalam kehidupan social masyarakat. Jika pemahaman gender masih dipersempit sebagai peran baku yang tidak boleh berubah, maka ketidakadilan gender akan semakin subur. Bentuk ketidakadilan ini meliputi marginalisasi perempuan di sektor ekonomi, subordinasi dalam pengambilan keputusan, stereotip yang membatasi peran sosial di ranah publik, beban kerja ganda, serta kekerasan berbasis gender yang masih marak terjadi di rumah tangga maupun ruang publik.

Peristiwa ini seharusnya menjadi momentum bagi masyarakat untuk lebih sadar akan pentingnya kesetaraan dalam keluarga. Edukasi tentang kesetaraan gender harus diperkuat melalui institusi pendidikan, komunitas, dan media. Kekerasan dalam bentuk apa pun tidak boleh dinormalisasi, terutama dalam lingkungan keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi individu.

Ke depan, kita harus lebih berani bersuara ketika melihat ketidakadilan terjadi, baik dalam lingkup keluarga maupun di masyarakat luas. Setiap anggota keluarga, baik laki-laki maupun perempuan, berhak mendapatkan perlakuan yang adil, bermartabat dan setara. Dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif dan menghargai keadilan serta nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. (*)

  • Bagikan